RSS

Dilema Sawah Sonor, Demi Hidup Atau Lahan Gambut?





Topik : Hari-hariku Di Lahan Gambut
Dilema Sawah Sonor, Demi Hidup Atau Lahan Gambut?
Di bulan Mei lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kampung ini disebut juga dengan kampung perambah. Sebutan perambah ini diberikan karena warga di desa ini dahulu hidup dari hasil menebang kayu di hutan. Saya memiliki kesempatan seharian penuh untuk melihat langsung kondisi lahan gambut yang ada di wilayah ini.
Dahulu, warga biasa merambah kayu di kawasan Padang Sugihan Sebokor, yang merupakan wilayah berstatus suaka margasatwa seluas 86.932 hektare. Selain sebagai habitat alami gajah Sumatera, berbagai satwa lain juga hidup disini, seperti beruang madu, rusa sambar, serta berbagai jenis burung seperti rangkong dan raja udang. Sebokor ini pula yang menjadi salah satu lahan yang memicu titik api di tahun 2015.
Selain merambah, sejak zaman dahulu kala pula, desa ini juga menerapkan sistem sawah sonor, sebagai salah satu mata pencaharian. Sonor adalah sistem penanaman padi tradisional di areal rawa, yang hanya dilakukan pada saat musim kemarau panjang. Dan lahan gambut disekitar Suaka margasatwa Sebokor inilah yang dikorbankan untuk sawah sonor ini. Tak ada cara lain untuk membuat sonor, selain membakar habis lahan gambut yang ada. Setelah lahan dibakar, benih padi ditanam dengan cara disebar.
Terdapat sekitar 865 hektar luas sawah yang dibuat sistem sonor. Meski status lahan yang ada adalah Areal Penggunaan Lain (APL) dan milik pemerintah, mereka seolah menutup mata. Karena, dari sawah sonor inilah, mereka bisa menghasilkan sekitar 10-15 ton beras per tahun. Atau jika diukur dengan ukuran kaleng, bisa menghasilkan sekitar 1000 kaleng beras. Praktis, dengan bersonor, mereka mampu menyimpan beras untuk makan selama setahun penuh.
Dilema datang, setelah bencana kabut asap di tahun 2015 lalu. Membakar lahan gambut untuk dijadikan sawah sonor, dianggap memicu titik api dan membuat bencana kabut asap semakin menjadi. Alhasil, mereka tak lagi bisa membuka lahan, menjalankan tradisi sejak dulu. Pemerintah memberikan opsi lain, agar kaleng beras mereka tetap terisi. Cetak sawah menjadi solusi dimata pemerintah. Masyarakat mulai menanam padi tanpa membakar lahan di tahun 2016.
Sayangnya, hasil yang diinginkan tak sesuai kenyataan. Sejak diubah sistem cetak sawah ini, lahan tergenang air hingga lebih dari satu meter, apalagi di musim penghujan seperti sekarang ini. Benih padi yang ditanam hilang begitu saja, hanyut oleh genangan air, yang diperparah dengan kanal ditengah lahan. Dari 865 hektare lahan, sekitar 652 hektare lahan yang sudah diubah sistem cetak sawah, dan semuanya tergenang. Masyarakat mengklaim, tidak adanya pendampingan dari ahli kepada masyarakat yang mengakibatkan sistem cetak sawah tidak berhasil.
Dan kini, mereka kehilangan pendapatan beras untuk makan sehari-hari, yang selama ini tak pernah mereka keluhkan. Kepada saya, warga menuturkan dilema yang mereka hadapi. Betapa tidak, jika mereka tidak membuat sawah sonor, maka lumbung beras mereka tidak akan berisi.  Sementara, pemerintah tak lagi mengijinkan untuk membuka sawah sonor. Yang mereka tahu, mereka hanya ingin bisa menyambung hidup, dan untuk memperolah beras, mereka hanya bisa mengandalkan sawah sonor.
Selain itu, meski mereka masih mampu merambah kayu di areal Suaka Margasatwa Sebokor, namun lagi-lagi pemerintah melarang, karena akan merusak keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada. Satu-satunya mata pencaharian mereka kini hanyalah berkebun karet, dimana setiap Kepala Keluarga hanya memiliki tak lebih dari 2 hektare kebun karet. Menurut pengakuan warga, hasil karet yang baru bisa dinikmati dalam hitungan tahun, tak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin melonjak.
Dari sini, bisa kita lihat bersama, dilema yang terjadi di masyarakat Desa Perigi, yang mungkin saja mewakili dilema masyarakat yang hidup di kawasan suaka lainnya di Indonesia. Bagi pemerintah dan pemerhati lingkungan, apa yang mereka lakukan dianggap merusak ekosistem. Dan parahnya, ini sudah terjadi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Entah sudah berapa banyak flora dan fauna yang ada di Suaka Margasatwa Sebokor ini habis atau bahkan punah. Namun, mereka hanya tahu kalau apa yang mereka lakukan adalah tradisi dan ilmu turun-temurun dari nenek moyang mereka, untuk tetap bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
Mereka tak tahu, betapa pentingnya lahan gambut untuk negeri ini. Bahwa untuk merestorasi lahan gambut yang sudah mereka rusak, butuh waktu dan dana yang tidak sedikit. Restorasi gambut adalah proses panjang untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari menyusutnya lahan gambut.
Banyak sekali program yang dicanangkan untuk merestorasi lahan gambut. Di Provinsi Sumsel, sebanyak 400 hektare lahan disiapkan dalam program The Bonn Challenge, yang diikuti oleh 27 negara, demi merestorasi lanskap hutan yang kritis. Restorasi ini sendiri direncanakan akan berlangsung hingga tahun 2020 mendatang. Soal dana, Badan Restorasi Gambut (BRG) Indonesia sudah mencanangkan untuk membantu dana restorasi gambut di Sumsel, yakni mencapai angka setengah miliar dollar AS, yang berasal dari dana hibah dan dana investasi.

Kompetisi Menulis #PantauGambut, website pantaugambut.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Sabokingking, scared moment

Pengalaman tak terlupakan dalam hidup, saat mengambil resiko dalam pekerjaan. Gak pernah kebayang, kalo bakal nemu hal-hal mistis dalam pekerjaan ini.

Ceritanya, aq sama boss liputan ke makam Ratu Sinuhun, pembuat kitab undang-undang Simbur Cahaya. Makam Sabokingking namanya. Lokasinya di Jalan sabokingking, nun jauh masuk ke ujung.

Katanya, dulu banget, kawasan ini merupakan kanal, dimana ada pintu masuk dan keluar perairan sungai Musi. Dan menurut catatan sejarah, disini adalah lokasi sabo atau tempat pertemuan raja-raja (king) di masa kerajaan Sriwijaya.

I think this place so.. scared. Beneran. Emang sih, ada sedikit kesalahan yang kubuat.

Pertama kali kesana, aq emang lagi M. Awalnya biasa aja, gak berasa apa-apa. Takut juga gak. Karena aq percaya, Allah bakal slalu menjaga umatnya. Tapi ternyata aq salah. Saat lagi berhalangan, gak seharusnya masuk kesitu, kawasan yang memang sudah menjadi tempat peristirhatan terakhir manusia.

Pulang dari situ, kepala langsung pusing, berat, maunya tidur mulu. Okey, gak akan dibahas panjang lebar kl yg pertama ini, krn besoknya pusing dan berat itu udah ilang.

Minggu depannya, aq menelepon kuncen makam, dan janjian supaya bisa ketemu langsung dan wawancara. Dan lo tau, semuanya berjalan lancar banget. Si bapak terbuka, ngemong, dan mau bantu keliling nemenin foto sampe ke semua ruangan. Bahkan, ada batu bertapa yang belum pernah ditunjukin ke awak media, pasca ditemukan di tahun 2004.

Aq nulis dalem keadaan merinding ini. But, yang namanya dunia ghoib emang harus kita percaya. Tapi yang anehnya, pulang dari sana, gue dan si boss sama-sama mengulang kejadian saat pertama kali kesana. Pusing, kepala berat dan sebagainya.

Tapi anehnya, aq gak bisa move on dari kondisi ini. Pulang sekitar pukul 3 sore sampe rumah, start beratnya kepala dimulai sejak itu. Sampe malem hari, kondisi ini malah makin menjadi. Aq ngerasa butuh tidur berhari-hari. Aq bisa beraktivitas, ngetik berita, makan, bahkan sholat. Tapi semua itu gak berhasil buat moveon. Aq tetep ngerasa butuh tidur setiap satu jam sekali.

Beruntung, aq punya boss dan temen-temen yang baek dan perhatian. Si boss bawa aq ke orang yang bisa ruqyah. Dua jam dieksekusi sama di bapake, akhirnya berat kepala bisa balik normal. Meski pusingnya masih merajalela sampe pulang kerumah, toh semuanya udah banyak berkurang. Its so scared for me, anyway.

Katanya, dlm tubuhku ada sesuatu yang sudah ada sejak lama, dan pas dateng ke Sabokingking, si pendamping mau ngusir si pengganggu dari sana. Jadilah aq yang kena getahnya, tubuh melemah banget.

Dari sini, banyak banget pelajaran yang didapet. Untuk gak meremehkan dunia ghoib, untuk gak takabur, dan untuk selalu berzikir mengingat Allah. Aq sangat beruntung bisa bertemu dengan boss, teman, kakak, ayuk dan semua yang ada disini. Semua yang sangat perhatian, repot2 membantu supaya aq bisa bebas dr belenggu syaiton seperti kemaren. Terimakasih semua..

Catatan ini akan selalu ada, untuk bisa mengingatkanku akan kebaikan-kebaikan disekitarku..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Zakwan : Aku pernah tinggal di Bunker Pertahanan Jepang

Foto : Mahgodie (Instagram @mahgodie)

Website : seputarsumsel.com

Instagram : @seputarsumsel

FB : Seputar Sumsel

Seputarsumsel.com-Palembang,
Tangga ke bagian pintu utama sudah berlumut, sehingga kami harus berhati-hati menapaki alas kaki. Daun kering memenuhi tangga dan depan pintu utama, menyamarkan lumut yang tumbuh. Dan saat pintu dibuka, kami disambut dengan genangan air di sekeliling ruangan depan. Pintu-pintu di dalam ruangan sudah rapuh termakan usia. Begitu banyak perabot usang yang tersisa disini, bertumpuk, mengundang laba-laba untuk membuat sarangnya. Jendela di bagian atas, kini berhadapan dengan ‘taman bermain’ angsa dan ayam peliharaan. Sesekali, kelelawar terbang mengejutkan kami.

Ini adalah kondisi terkini dari rumah perlindungan di bawah tanah atau bunker, di Jalan Joko, Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil Palembang. Tak ada yang pernah menyangka, bahwa rumah bawah tanah ini pernah dihuni oleh empat keluarga sekaligus. Namun, sejak tahun 2008 lalu, rumah bawah tanah ini sudah ditinggalkan oleh penghuninya.
Rumah pertahanan bawah tanah ini merupakan saksi bisu dari dahsyatnya Perang Dunia ke-II. Menurut beberapa cerita, rumah ini dibangun pada tahun 1942-1945, dimana Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Dan setelah Belanda angkat kaki dari tanah air, rumah pertahanan atau perlindungan ini otomatis jatuh ke tangan Jepang.
Dan setelah Jepang juga angkat kaki, maka bunker ini dialihfungsikan. Ada yang memprediksi jika dahulu rumah bawah tanah ini digunakan sebagai penjara bawah tanah. Namun yang pasti, sejak tahun 1960-an, bunker ini dijadikan sebagai rumah tinggal. Salah seorang yang pernah menjadi penghuni bunker ini selama bertahun-tahun, yakni Bapak Zakwan (77), seorang pensiunan sipil yang bertugas di Kodim 0418/Palembang.
Cerita demi cerita ia tuturkan, saat kami mendatangi bunker yang kini tak berpenghuni. Dari mulutnya, mengalir cerita dimana ia mengajak anak dan istri untuk tinggal di dalam bunker, dua bulan setelah ia menikahi sang istri tercinta, sekitar tahun 1967 silam.
Terdapat 6 kamar tidur dan satu kamar mandi di dalam bunker. Empat keluarga, termasuk keluarga Zakwan, membagi ruangan tersebut, agar bisa ditempati bersama. Dinding bungker terbuat dari beton cor yang memiliki ketebalan sekitar 0,25 meter. Tinggi dinding bunker ini 2,4 meter, dengan luas bangunan sekitar 17,8 meter x 8 meter.
Asal mula Zakwan memutuskan untuk tinggal di dalam rumah bawah tanah, karena saat ia ditugaskan di Palembang, ia tidak memiliki persiapan, sehingga saat ada tawaran untuk menempati salah satu ruangan di dalam bunker ini, ia pun langsung menyetujui. Tahun 1967, ia memboyong sang istri dan memulai hidup berumah tangga dari bawah tanah.
Tiga Anakku Meninggal, Aku Pindahkan Rumahku Keatas
Zakwan hidup di bawah tanah selama bertahun-tahun, berbagi ruangan dengan tiga keluarga lain. Di tahun itu, belum ada penerangan listrik, sehingga keseharian mereka hanya diterangi lampu teplok. Terdapat ventilasi di setiap ruangan, sehingga cahaya masih bisa masuk ke dalam pada siang hari.
Diceritakannya, selama ia tinggal di bunker, setiap ada tamu yang datang selalu bertanya, kenapa mau tinggal di bawah tanah? “Saya jawab saja, bahwa bunker inilah yang bisa menghalau hujan dan panas, melindungi anak dan istri saya,” tuturnya.
Namun, cobaan demi cobaan menerpa keluarga dengan tujuh orang anak ini. Zakwan harus menerima kenyataan jika tiga dari tujuh anaknya harus berpulang, saat ia masih bertempat tinggal di bawah tanah. “Saya tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya, ketiganya meninggal dunia karena sakit. Sehingga pada tahun 2008, saya berinisiatif untuk membangun rumah semi permanen agar bisa tinggal diatas permukaan tanah,” ungkap pensiunan sipil tahun 2006 ini.
Keinginan untuk tinggal diatas tanah bukan tanpa sebab. Ia ingin tetap bisa bersama istri dan keempat anaknya yang masih hidup. Hanya itu. Tahun demi tahun berlalu, satu per satu dari tiga kepala keluarga meninggalkan rumah bawah tanah ini. Ada yang meninggal dunia, dan anak-anak mereka satu per satu berumah tangga dan berpindah rumah. Pada akhirnya, Zakwan pun membangun rumah semi permanen tepat di atas bunker, sekitar tahun 2008 lalu. Rumah beratap genteng dan berdinding kayu-lah yang kini menjadi tempat tinggal Zakwan beserta istri, anak dan cucunya.
Anak pertama kakek empat orang cucu ini, saat ini sudah mengikuti jejaknya sebagai prajurit di Aceh, sementara anak ketiganya sudah menjabat sebagai PNS, dan anak bungsunya sedang menuntut ilmu di salah satu pesantren di kota Palembang.
Dipaparkan Zakwan, sudah ada beberapa utusan pemerintah baik dari Kodam II Sriwijaya maupun dari dinas pariwisata kota Palembang yang sudah meninjau langsung bunker ini, namun hingga saat ini, belum ada tindak lanjut dari kunjungan-kunjungan tersebut.
Kini, Zakwan masih merawat bunker bersejarah itu, meski dengan kondisi seadanya. Air masih menggenang di ruangan depan bunker, sementara barang-barang peninggalan seperti kursi, dan besi tua memenuhi setiap sudut ruangan bunker gelap ini. Secara berkala, di usia senjanya ia masih membersihkan rumah bawah tanah ini semampunya, meski kondisi rumah ini sudah sangat rapuh termakan usia. (RuL/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Biru Cintaku Untukmu

Kuraih asa terindah, hanya dalam sujudku. Kupasrahkan segala rindu, hanya diatas sajadah biru.
Ahh.. aku rindu Papaku..

Papa yang dulu sering tak kurespon teleponnya. Bahkan ku-reject teleponnya, hanya karena aku sedang sibuk dengan pekerjaanku. Papa yang dulu sering aku buat susah, aku buat gundah. Papa yang dulu sering tak kudengar kata-katanya. Papa yang dulu selalu ingin dekat denganku, namun terkadang aku membatasi hubunganku, hanya karena aku merasa takut dengannya. Aku segan padanya. Aku takut pada amarahnya. Aku takut pada sifat kerasnya.

Pa.. aku rindu perhatianmu. Rindu kehadiranmu. Rindu tatapan cintamu. Rindu kasih sayangmu. Di dunia ini, tak ada yang memperlakukan sama sepertimu.Tak ada bahu yang sama sepertimu. Tak ada dada bidang yang sama sepertimu. Dan tak ada cinta sepertimu.






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Mendayung Rejeki Dari Sungai Ke Sungai

Mengayuh dayung perahu kesana kemari, mencoba mengais rejeki menjajakan berbagai penganan dan minuman ringan berjejer diatas sampan kecil miliknya kepada siapa saja yang ia temui di pinggir sungai menjadi bagian keseharian yang harus mereka lalui demi menopang perekonomian keluarga di rumah.

Solma (50) sudah dua tahun belakangan tak kenal lelah berjualan jajanan terapung, terlebih jika ada perhelatan acara bidar mini yang hampir setiap minggu digelar di berbagai sudut sungai yang mengitari Kelurahan Karya Jaya Kertapati Palembang. Ia sama seperti penjual makanan terapung lainnya, membuat sendiri penganan seperti pempek, gorengan, hingga manisan kedondong, untuk dijual. Sejak pagi hari, ia mempersiapkan penganan, lengkap dengan berbagai jenis minuman yang ia susun rapi di atas sampan tua nya.

Biasanya, lomba bidar mini diadakan sedari siang hingga sore hari. Disaat itu pula ia bisa mengais rupiah, terutama dari para penonton bidar mini yang selalu antusias tiap minggunya disana. “Lumayan, Nak. Kalau ada acara seperti itu, saya bisa dapet Rp 100 ribu,” katanya.

Meski ada sekitar 50-an warga yang juga berprofesi sama seperti dirinya, namun Solma tak gentar, karena ia yakin rejekinya sudah diatur Yang Maha Kuasa. Selain pempek dan gorengan, terkadang ia juga membuat penganan lain seperti klepon, keripik dan ketan.

Solma bukan penjual makanan terapung sejati. Ia juga membuka warung sayur di rumahnya, di RT 22 Kelurahan Karya Jaya Kecamatan Kertapati Palembang. Setiap 3 kali seminggu, ia membeli berbagai sayur mayur dan kebutuhan berjualan di pasar Kertapati.

Namun, seringkali sayur yang ia jual tak habis, dan merugi. Betapa tidak, untuk membeli sayur di pasar, ia harus merogoh kocek hingga Rp 20 ribu per hari. Belum lagi jika meminta bantuan tukang pengangkut barang dan menyewa perahu ketek untuk bisa sampai ke rumah.

“Jika memungkinkan, saya jual sayur terapung keliling 3x seminggu, tapi jika tidak saya jualan dirumah saja, sembari mengurus rumah,” ujar ibu tiga anak ini.

Meski penghasilan satu hari hanya berkisar puluhan ribu saja, toh Solma tak pernah mengeluh. Ia tetap mencari rejeki lain dengan mengurus lahan pertanian orang lain. Ya, sehari-hari ia dan suami juga turut bertani, mengais rejeki dari padi yang menguning setahun sekali. “Kalau sekarang, kami semua sedang gagal panen. Tapi tidak boleh putus asa, kalau gagal ya coba lagi,” tuturnya.

Sembari menunggu acara bidar mini yang biasanya diadakan seminggu sekali, ia berjualan sayur dan gorengan dirumahnya, demi tetap menyambung hidup.

Angin Segar Di Pasar Terapung Sekanak

Pemerintah Kota Palembang mengujicoba Pasar Terapung Sekanak, dengan mengundang para penjual makanan terapung dari Kelurahan Karya Jaya. Ini menjadi angin segar bagi pendapatan warga, apalagi bagi Solma.

“Iya, tapi saya mau lihat dahulu bagaimana perkembangannya. Karena lokasi ini jauh dari rumah, jika tidak dibantu dengan perahu ketek, jauh sekali untuk menjangkau kesini,” tuturnya.

Solma mengungkapkan, selagi dirinya masih sanggup mendayung, ia akan terus mengais rejeki dari sungai ke sungai. Dari profesinya, ia dan suami mampu menyekolahkan ketiga anaknya hingga ke tingkat sekolah menengah atas.

“Anak pertama sudah lulus SMA, anak kedua lulus SMA dan sudah menikah juga, anak ketiga masih sekolah SMP kelas 1. Kami antarkan anak menuntut ilmu semampu kami,” tuturnya. (RuL/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Sosok Dibalik Indahnya Kasur Lihab

Di usia yang tak lagi muda, tangannya pun nampak masih terlihat cekatan mengayunkan jarum dan benang, menjahit pinggir kasur lihab yang terbentang dihadapannya. Sesekali jarum ia letakkan sebentar, untuk kemudian mengambil kayu bantu untuk memasukkan kapuk ke dalam kasur lihab dan kembali menjahitnya.

Sesekali juga ia pun membenahi masker yang menutupi hidung dan mulutnya, agar kapuk yang beterbangan tidak merusak paru-parunya. Dan jika merasa pegal, ia berpindah tempat duduk, mendekati pintu kecil di sudut ruangan tersebut agar mendapatkan cahaya lebih untuk menjahit.

Kolong rumah panggung tempat mereka bekerja penuh dengan kapuk, bukan hanya yang ditumpuk, tetapi juga kapuk yang beterbangan kesana-kemari. Dan jika ingin berdiri, mereka harus berhati-hati karena rendahnya atap kolong yang menjadi bernaungnya kerja mereka disana. Di sisi atap, terpasang juga seutas tali yang digunakan untuk menggantung kasur lihab, jika belum selesai dikerjakan.

Rutinitas seperti inilah yang dilakoni Rodiah (50) sejak tahun 1986 silam, di bawah rumah panggung di kawasan 27 ilir Palembang. Ya, Rodiah merupakan salah satu pengrajin kasur lihab.

Meski kini kasur kapuk sudah tergantikan dengan springbed, namun nyatanya kasur lihab sendiri masih bertahan hingga kini. Menurut rodiah, dalam sehari ia masih bisa mengerjakan hingga 10 buah kasur lihab.

“Sesuai sama kemampuan saja, Nak. Lagian, kadang permintaan dari toko juga cuma segitu jumlahnya sehari. Yang penting ada yang dikerjakan saja,” ucapnya pasrah.

Rodiah bertugas menjahit pinggir kasur lihab saja, sementara tugas memasukkan kapuk ke bagian dalam kasur biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selain kasur lihab, tukang randu juga membuat sajadah lihab yang hingga kini juga masih menjadi pilihan masyarakat kota Palembang.

Salah seorang pengrajin kasur lihab lainnya, Marini (63), juga menuturkan, hidup sebagai pengrajin kasur lihab di masa sekarang. “Kalau dulu, kasur kapuk untuk tidur masih berjaya. Tapi sekarang kasur kapuk sudah jarang. Kasur lihab juga tidak selaris dulu,” ungkap ibu tiga anak ini.

Upah yang Marini terima hanya berkisar Rp 200 ribu per minggu, karena ia hanya sanggup mengerjakan 3 sampai 4 kasur lihab saja, dengan jam kerja mulai pukul 9 hingga pukul 5 sore. Kini, hanya tinggal beberapa orang pengrajin kasur lihab yang masih bertahan, dari puluhan pengrajin yang dulu ada. Mereka tetap bersemangat mengayunkan tangan menjahit kasur lihab tanpa kenal lelah. Banyak pengrajin yang sudah meninggalkan profesi mereka karena permintaan kasur lihab tidak sebanyak dahulu.

Hasil kerajinan mereka, untuk memenuhi permintaan toko-toko penjual kasur lihab yang ada di sentral Kasur Lihab Jalan Mujahidin 26 Ilir Palembang. Kasur lihab sendiri biasanya digunakan untuk di ruang keluarga, atau biasa juga digunakan di ruang bermain anak dan ruang santai lainnya.

Variasikan Bahan Kasur Lihab

Dari Rodiah dan Marini, mereka banyak bercerita tentang kejayaan kasur lihab, hingga kini. Termasuk berbagai inovasi yang dilakukan penjual, agar kasur lihab tetap bertahan dari masa ke masa.

Jika dahulu kasur lihab umumnya berbahan dasar parasut, tetapi kini sudah banyak modifikasi dan variasi kasur lihab. Sebelumnya, kasur lihab identik dengan bahan parasut, desain bahan polos dipinggir, dan motif ditengah kasur.

“Kalau sekarang, sudah banyak pilihan bahan yang diinginkan, seperti bahan katun, saten, sutra dan pelangi,” kata Marini, sambil tetap mengayunkan jarum dan benang.

Selain jenis bahan, kasur lihab juga dimodifikasi bukan hanya sebatas kasur, melainkan dibuat pula dalam bentuk sajadah dan dudukan nganten untuk pelaminan.

“Kasur ada banyak pilihan ukuran, nomor 1, nomor 2 dan nomor 3. Lalu ada kasur bayi dengan pilihan bahan lembut, sesuai keinginan pembeli. Ada juga sajadah yang eksklusif, dibuat dari pilihan bahan katun dan songket, yang biasanya orang toko jual sampe 300ribuan,” papar Marini.

Harga Kasur Lihab Masih Tinggi

Diketahui, kapuk pengisi kasur lihab masih berkisar Rp 30 ribu per kilonya. Wajar jika harga kasur lihab sendiri masih terkategori tinggi oleh sebagian masyarakat. Untuk kasur lihab parasut ukuran nomor 1 (180×200 cm) berkisar antara Rp 375 ribu, ukuran nomor 2 (160×200 cm) berkisar antara Rp 350 ribu, ukuran nomor 3 (140×200 cm) berkisar Rp 300 ribu. Sementara, kasur lihab dibanderol mulai Rp 700 ribu, dan sajadah saten mulai Rp 190 ribu.

Ada keinginan untuk membeli kasur lihab? Langsung saja melipir ke kawasan Pasar 26 Ilir. Disini terdapat toko-toko penjual kasur lihab terbaik dari hasil tangan-tangan terampil pengrajin yang sudah puluhan tahun menggeluti profesi tersebut. (RL/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Liputan Bidar Mini. Seru! (2)

Dari pagi, salah jadwal krn diinfoin jam 8 pagi. Berangkat dari rumah jam 7 pagi. Sampe lokasi, ternyata jadwal lombanya jam 1 siang 😑 Sempet keki krn rasa lapar, sementara cuma ada penjual rempeyek di Boom Muaro Kelingi ini. Tapi ternyata gak sia2. View sungai di pagi hari, ditambah lomba yang seru abis, gak jd ngeluh 😂

Eniwey, pengen nulis juga tentang kehidupan penjual sayur keliling yg make perahu ketek, trus pengen nulis ttg kehidupan masyarakat pinggir Sungai Pada Bonggoh.

Sejak dulu, antar desa cuma dihubungkan dengan perahu ketek. Kalo mau nyebrang, siapin duit 2ribu untuk orang dewasa, dan 1ribu buat anak sekolah. I love this way. Thankyou Allah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Liputan Bidar Mini. Seru!

Menjaga tradisi Bidar Mini agar tetap Lestari  

Seputarsumsel.com, Palembang - Apa jadinya jika Halilintar, Raja Rimba, Raja Sirep, Serunting Sakti, hingga Buaya Buras beradu diatas Sungai Pada Bonggoh?. Jawabannya, seru!. Nama-nama ini merupakan nama beken bidar mini yang mengikuti perlombaan Bidar Mini dalam rangka Ulangtahun Kelurahan Karya Jaya Kecamatan Kertapati yang ke-40.

Sebanyak 65 perahu bidar mini yang didayungi oleh 5 orang, mengikuti perlombaan yang memperebutkan piala bergilir Lurah Karya Jaya ini.

Kepada Seputarsumsel.com, Lurah Karya Jaya, M Yusli mengatakan, dirinya menyambut baik ide dari para tokoh masyarakat, ketua RT dan RW yang berada di Kelurahan Karya Jaya untuk menggelar perlombaan ini.

"Dan perlombaan digelar semuanya berkat swadaya masyarakat. Lomba bidar mini ini sendiri sempat mati suri sekitar 3-4 tahun, sehingga saya dan masyarakat bersemangat untuk memunculkan lagi tradisi ini. Ulangtahun kelurahan sendiri jatuh pada tanggal 29 Januari lalu, namun baru kami realisasikan di hari ini," kata Yusli, Minggu (5/2) di Boom Muaro Kelingi, Kelurahan Karya Jaya.

Tercatat, sudah lebih dari 20 kali lomba bidar ini digelar, dan selalu diramaikan oleh masyarakat kelurahan Karya Jaya. Hal inilah yang membuat Kepala Pariwisata Kota Palembang, Isnaini Madani ingin memasukkan perlombaan ini dalam kalender pariwisata.

"Akan sangat bagus jika dikemas dalam pariwisata Kota Palembang, dan menghasilkan economic value. Selain itu, bisa kita dimasukkan pula kedalam calendar of event, sehingga bukan hanya masyarakat sekitar saja yang menyaksikan perlombaan bidar mini ini. Wisatawan lokal maupun mancanegara juga bisa. Jika bidar mini akan diadakan lagi, saya bisa memasukkannya dalam kalender tahun ini," tegas Isnaini.

Selain itu, ia juga menilai, budaya seperti ini juga bisa menjadi salah satu pertunjukan yang bisa dimasukkan dalam paket wisata, bekerjasama dengan tour and travel yang ada di Kota Palembang.

Walikota Palembang, Harnojoyo juga berkesempatan untuk meninjau langsung jalannya perlombaan bidar mini ini. Dikatakannya, tradisi seperti ini juga patut dilestarikan, agar menjadi suatu ikatan kebersamaan antar masyarakat.

"Dahulu, kan perahu bidar atau yang juga disebut perahu calang ini adalah perahu yang berfungsi untuk menghalau perompak yang ingin mengganggu kerajaan Sriwijaya dari wilayah sungai. Oleh karena itu, tradisi seperti ini jangan sampai hilang. Animo masyarakat luar biasa, saya salut. Bukan tidak mungkin, selain dimasukkan dalam kalender event pariwisata Kota Palembang, bidar mini ini akan saya munculkan dalam perhelatan Asean Games 2018 nanti," katanya bangga.

Pembangunan Jembatan Musi 5 Menyatukan Masyarakat Pinggir Sungai

Adanya permintaan masyarakat untuk meminta kepada Pemerintah Kota Palembang agar dibuatkan jembatan penghubung antara boom Muara Kelingi dengan desa seberang, turut menjadi perhatian Harnojoyo. Dikatakan Harno, pembangunan akan terus berlanjut dan mengedepankan kepentingan masyarakat.

"Saat ini sudah ada pembangunan musi 4, musi 5 dan musi 6, dimana musi 5 akan menjadi jembatan penghubung melewati sungai keramasan ini. Semua demi kelancaran transportasi yang ada di wilayah perairan," katanya mantap. 

Budaya bidar mini ini sudah sejak lama menjadi tradisi masyarakat di kawasan Sungai Pada Bonggoh, khususnya masyarakat yang berada di kelurahan Karya Jaya. Yuk, kita lestarikan bersama dengan memberikan dukungan kepada pemerintah, agar tradisi seperti ini bisa terus berjalan. (Nurul/17)

http://seputarsumsel.com/menjaga-tradisi-bidar-mini-agar-tetap-lestari/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Lavender-ku

Menilik hati terdalam
Cinta ini terukir menawan
Bagai lavender di kejauhan. Aku ingin duduk diantara lavender-lavender itu.
Sayang, hujan tumpah ke bumi, melarang.
Menggenangi jalan menuju ke lavender ku.
Membanjirinya dengan desahan putus asa.
Kau tahu, jalan ini hanya setapak. Bebatuan kecil mencoba melerai tanah kehidupan.
Asa seolah menghilang, tak ingin melalui setapak itu.
Kau tahu, ada payung biru di jemariku.
Air yang jatuh itu tiada arti. Kita lah yang menjadi penadah.
Mengapa kau memilih terdiam, dan berhenti berjalan.
Bebatuan itu kecil, tak menghalangi cinta yang tertawan masa.
Jalan setapak bisa dipijak, asal rindumu tak berbatas.
Ayolah, lavender itu menunggu.
Seperti ukiran cinta di langit sendu. Aku menunggu lavender-ku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Jalan Asia Plaju, Kampung Produsen Tempe Di Palembang






Seputarsumsel.com, Palembang - Siapa yang suka tempe?. Wah, hampir rata-rata masayarakat kita suka dengan makanan yang satu ini. Berbahan dasar kacang kedelai, khasiat didalam tempe ternyata banyak, loh, diantaranya bisa melawan radikal bebas, menurunkan tingkat kolesterol darah, pencegah penyakit jantung dan hipertensi, dan masih banyak lagi. Tuh, liat, betapa ruginya kamu yang gak suka tempe!.

Ternyata, Indonesia merupakan produsen tempe terbesar di dunia, dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Tercatat, tempe sudah ada sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia, sebagai makanan para tawanan Jepang kala itu. Dahulu, pembuatan tempe memang menggunakan daun pisang.
Di Palembang sendiri, pengrajin tempe ternyata ada di kawasan Jalan Asia Plaju Ulu Palembang. 

Seputarsumsel.com menelusuri jejak pengrajin tempe di kampung tempe ini, dan berkenalan dengan Bapak Junaidi (43), salah satu pengrajin yang menetap di Jalan Asia Gang Saleh Plaju Ulu Palembang.
Junaidi sendiri ternyata ‘mewarisi’ profesi sebagai pengrajin tempe dari orangtuanya.

“Saya sudah mengenal tempe sejak kecil. Namun baru belajar membuat tempe sejak tahun 1993 silam. Dan akhirnya saya benar-benar terjun sebagai produsen tempe pada tahun 2000,” kenangnya.

Dikatakannya, dalam satu hari, ia mampu menghasilkan ratusan potong tempe, yang ia jual di Pasar Kuto Palembang. Harga yang ia tawarkan yakni berkisar antara Rp 3 ribu, Rp 4 ribu, Rp 5 ribu, dan Rp 6 ribu per potongnya.

“Tempe dipotong sesuai ukurannya, ada yang berukuran 12x25 cm, 12x30 cm dan 12x35 cm. Ada yang dibungkus dengan daun pisang, ada pula yang dibuat dengan plastik,” papar suami dari Marfuah (43) ini.
Dalam satu hari, ia bisa menggunakan 75 kilogram kacang kedelai, yang didapat dari Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTTI). Saat ini, harga kacang kedelai berkisar Rp 7.400 per kilogramnya.

Menurut Junaidi, produksi tempe terbilang gampang-gampang susah. “ Sebagai produsen, kami harus jeli melihat bahan baku kacang kedelai yang akan digunakan. Selain itu, proses pembuatan juga harus terus diperhatikan terutama selama proses fermentasi, sampai benar-benar menjadi tempe,” kata Junaidi panjang lebar.

Produksi Tempe Dulu Dan Sekarang

Proses pembuatan tempe dimulai dari pembersihan kacang kedelai dari kotoran. Kemudian kacang direndam selama 12-18 jam, agar kacang bisa menyerap air sebanyak-banyaknya, yang berguna untuk proses hidrasi. Setelah itu, kacang dicuci bersih lagi, untuk kemudian direbus sampai empuk. Kacang kemudian ditiriskan dan diangin-anginkan, lalu ditaburi ragi tempe sembari diaduk rata. Biasanya, ukuran ragi yang ditabur yakni 1,5 gram ragi untuk 2 kg kacang kedelai.

Jika sudah diaduk rata dengan ragi, maka tempe siap dibentuk, baik dengan daun pisang maupun dengan menggunakan plastik. Proses terakhir, tempe dilubangi dengan menggunakan lidi atau garpu.

“Proses fermentasi dibantu dengan udara, supaya spora jamur tempe (Rizhopus) bisa berkembang maksimal. Baik daun pisang maupun plastik harus dilubangi,” ujar Junaidi.

Kini, produksi tempe tidaklah sesulit tahun 2000-an, saat Junaidi baru memulai merintis produksi tempe. Katanya, dahulu ragi yang digunakan dalam pembuatan tempe yakni menggunakan laru tradisional.

“Kalau sekarang sudah ada ragi berbasis tepung, yang juga bisa didapat di KOPTTI. Kalo untuk penggunaan daun pisang, sampai saat ini masih ada yang mencari tempe yang berdaun pisang, sehingga masih saya pertahankan, disamping membuat tempe yang pake plastik juga. Intinya, proses pembuatan tempe ini bisa memakan waktu hingga 4 hari lamanya,” tuturnya.

Junaidi tidak ingin merinci berapa penghasilan yang ia dapat dalam sehari, namun penghasilan dari tempe inilah yang bisa menghidupi istri dan anak-anaknya. Saat ini, terdapat puluhan pengrajin tempe yang mewarisi profesi seperti Junaidi, dan menjual produksi tempenya ke berbagai pasar yang ada di Kota Palembang, seperti Pasar Plaju dan Pasar Induk Jakabaring. Biasanya, produsen tempe akan memasang plang di depan rumahnya, dengan menulis ‘Pengrajin Tempe’.

Junaidi berharap, pemerintah bisa memberikan perhatian lebih kepada produsen tempe seperti dirinya dan puluhan produsen yang bermukim di sentra kampung tempe ini.

“Sejauh ini pemerintah sudah sering memberikan penyuluhan, dan mengikutsertakan kami dalam berbagai pameran. Kalo bisa lebih diperhatikan lagi,” ungkapnya seraya tersenyum. (Nurul/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Rejeki Penjaja Burung Pipit Di Tahun Baru Imlek

Seputarsumsel.com, Palembang - Selain bagi-bagi angpao, ternyata ada satu lagi tradisi yang dilakukan dalam menyambut tahun baru Imlek, yakni melepas burung pipit, termasuk di Kelenteng Tri Dharma Chandra Nadi atau Soei Goeat Kiong, dikawasan Jalan Perikanan 10 ulu Palembang.

Ternyata, setiap tahunnya ada puluhan pedagang yang menawarkan ribuan burung pipit kepada jemaat kelenteng.

Salah satu pedagang, Pak Rus (37) mengaku, ia sudah melakoni profesi penjual burung pipit sejak tahun 2000-an. Setiap tahun baru Imlek, ia dan puluhan penjual burung pipit lainnya memenuhi sisi kiri dan kanan gerbang kelenteng, menjajakan burung pipit kepada jemaat.

"Setiap tahun saya siapkan lebih dari 1500 ekor burung pipit, yang saya letakkan di dalam kandang kecil. Satu kandang biasanya berisi 10 ekor," papar Rus.

Satu buah burung dihargai mulai Rp 2.500 hingga Rp 3.000 saja. Namun, setiap jemaat yang membeli burung, jarang sekali membeli hanya 1 ekor.

"Biasanya mereka membeli 1 kandang atau 10 ekor. Bahkan pernah ada yang beli sampai 100 ekor untuk dilepas bersama keluarganya," ujar Rus kepada Seputarsumsel.com.

Rus dan pedagang lain ternyata memasok burung pipit dari daerah Jalur dan Lampung, dari 'penjaring' tahunan yang memang sudah biasa memasok untuk tahun baru Imlek.

Pelepasan burung pipit mengandung arti membuang sial. Ini dikatakan salah seorang jemaat yang membebaskan burung pipit yang baru saja dibelinya, Kevin (17).

"Kepercayaannya, melepas burung untuk membebaskan diri dari masalah yang membelenggu," kata Kevin.

Biasanya, pedagang burung pipit ini sudah memenuhi sisi kelenteng sejak pagi hari, hingga setelah Imlek keesokan harinya. Pelepasan burung pipit ini tidak melulu dilakukan pada tradisi Imlek, melainkan juga saat perayaan Cap Go Meh dan hari besar lainnya, atau sebagai kepercayaan untuk membuang masalah di kondisi-kondisi tertentu. (Nurul/17)

http://seputarsumsel.com/berburu-rejeki-dari-tradisi-pelepasan-burung-pipit-di-hari-imlek/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Imlek dan Lampion

Main2 ke kelenteng di malem Imlek, pengalamannya lumayanlah, ya. Tapi, banyak jemaat yg risih, mungkin karena hijab saya 😂

Awalnya cuma mau mantau dibagian depan doang. Ada yang sibuk ngidupin garu, ada yang sibuk beli kim chua, ada yang duduk di kursi tunggu, nungguin sanak keluarga yang secara bergilir sembahyang ke dalam kelenteng.

Tapi lama2 penasaran, dan akhirnya masuk juga. Emang sih, ditemenin juga, tapi saya satu2nya yg pake hijab 😂 selebihnya lakik. Pandangan orang langsung aneh. Saya juga gak tahan sebenernya, krn asep garu bikin mata pedes. Gak sampe 5 menit, langsung keluar lagi. Bengek.

Eniwey, in this place make a wonderful lampion. Sayang, kabar yg katanya mau ngadain lampion terbang, ternyata gak ada. Alhasil, jam 12 lewat pulang.

Ribuan Jemaat Penuhi Kelenteng Di Malam Imlek

Seputarsumsel.com, Palembang - Sebanyak 2.568 buah lampion memenuhi kelenteng Tri Dharma Chandra Nadi, atau Soei Goeat Kiong atau yang biasa dikenal dengan sebutan kelenteng Dewi Kwan Im 10 Ulu Palembang. Lampion ini membuat suasana di malam imlek semakin mempesona, Jumat (27/1) malam. 

Ribuan umat Tionghoa berduyun-duyun datang ke kelenteng, guna berdoa di hadapan para dewa, dengan menggunakan media dupa. Selain dupa, ada pula media uang kertas atau yang disebut kim chua.

Berdasarkan pantauan Seputarsumsel.com, nih, para jemaat dengan tertib membakar dupa, baru kemudian masuk ke dalam kelenteng dan melakukan sembahyang kepada para dewa. Biasanya, mereka memulai dengan menyembah dewa langit atau Thien Kong.

Setelah berdoa, di luar kelenteng ada pagoda yang digunakan untuk membakar uang kertas. Ini adalah simbol bahwa jemaat memberikan persembahan uang kepada sang dewa.

Salah seorang jemaat, Tsu Rai Gie (60) mengatakan, ia berharap di tahun baru Imlek ini bisa menambah semangat dalam beribadah.

"Tahun baru, harusnya bisa berbuat baik lebih banyak lagi," ujarnya.

Sementara, penjual dupa dan kim chua di kelenteng Dewi Kwan Im yang tidak ingin disebutkan namanya, juga berkomentar terkait tahun ayam api di tahun baru Cina 2568 ini.

"Kalo dari fengshuinya, tahun ini harus bisa lebih giat lagi dalam bekerja, dalam berusaha. Harus sungguh-sungguh," katanya.

Di tempat lainnya seperti Vihara Dharmakirti, sama eksotisnya, loh. Ada api saka yang dihidupkan didalam vihara. Belum lagi susunan 10 persembahan kepada dewa yang memenuhi altar, membuat perayaan malam tahun baru imlek ini semakin khidmat. So, dimana kamu merayakan malam tahun baru Imlek?. Semoga penuh dengan nuansa baru, ya!. (Nurul/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Berburu hewan peliharaan di Pasar Burung

Meski dikenal dengan nama Pasar Burung, namun ternyata yang dijual disini gak hanya jenis burung, loh. Seputarsumsel.com berkesempatan mengelilingi kawasan pasar ini, untuk melaporkan kepada pembaca, apa saja yang ada didalamnya. Yuk, ikutan!

Sebenarnya, lebih enak berkeliling memanjakan mata ke pasar ini pada hari Minggu. Karena akan ada pasar tumpah hingga memakan badan jalan, di hari Minggu pagi. Berkeliling di pasar ini, kamu bakal nemuin banyak sekali hewan peliharaan yang bisa dibawa pulang, diantaranya ikan hias, hamster, kelinci, hingga tupai terbang.

Salah satu toko yang menyediakan hamster lucu, yakni toko di sudut pasar dekat lokasi penjualan ikan hias, milik Pak Ali (48). Dibeberkannya, masih banyak masyarakat yang memelihara dan hamster dirumahnya, terutama anak-anak.

“Hamster saya jual Rp 70 ribu sepasang, sedangkan kelinci mulai dari Rp 50 ribu per ekor. Untuk kandang hamster dan kelinci sendiri, mulai Rp 40 ribu sampe Rp 250 ribu,” ujar Pak Ali yang sudah berjualan di pasar burung ini sejak tahun 2000 silam.

Bicara soal burung, wah.. disini surganya. Ratusan jenis burung memenuhi kandang, yang dikelola oleh puluhan penjual. Salah satunya milik Mang Jul (60). Burung yang ia jual diantaranya berjenis burung dara dan burung kipas.

“Kalo burung dara, harganya Rp 60 ribu sepasang. Kalo burung kipas mencapai Rp 200 ribuan sepasang,” ujarnya.

Namun, Mang Jul menuturkan, di awal tahun ini peminat burung sepi pembeli. “Biasanya dalam sehari bisa laku lebih dari 10 ekor, sekarang paling banter 4 ekor,” ucapnya lesu.

Dari Jangkrik Hingga Kelelawar

Jenis burung hias juga banyak, loh guys. Sebut saja burung hias berjenis parkit, perling dan perkutut. Soal harga, dijamin sebanding sama keindahan burung itu sendiri.

Rata-rata, burung parkit dijual seharga Rp 250 ribu sepasang. Burung berjenis icak ijo dihargai cukup mahal, yakni Rp 250 ribu per ekor. Burung perkutut hanya dihargai Rp 25 ribu per ekornya, sedangkan burung perling seharga Rp 150 ribu per ekornya.

Makanan hewan juga gak perlu cari kemana-mana. Disini sudah tersedia semua makanan hewan, seperti makanan burung, hingga telok semut untuk makanan ikan, yang rata-rata dijual seharga Rp 20 ribu saja. Bahkan, ulat hongkong untuk makanan burung Murai juga dijual disini, yakni seharga Rp 20 ribu.

Dan disudut pasar dideretan penjual jangkrik, ada pula yang menyediakan kelelawar, yang diklaim bisa mengobati sakit asma. Harga untuk satu ekor kelelawar yakni Rp 450 ribu.

Mau memanjakan mata kesini? Angkutan umum pasar km 5, dan angkutan umum yang menuju Jembatan Ampera biasanya melewati pasar ini. Pasar ini sendiri terletak persis di simpang Masjid Lama Palembang. (Nurul/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Melirik bisnis kain kiloan si Abah yang menguntungkan

Mau bikin seragam buat nikahan kamu? Atau mau coba-coba bisnis hijab? Kalo iya, kamu gak perlu khawatir dengan mahalnya harga bahan pakaian. Kamu tinggal meluncur ke kawasan Pasar Perumnas, tepatnya di Jalan Kampar Raya. Disini terdapat satu-satunya toko yang menjual bahan pakaian segala jenis dengan harga kiloan, yakni toko Abah Tekstil.

Pak Mahdi (52) atau yang biasa disapa Abah, sudah 8 tahun berjualan bahan kain kiloan ini. Memasok kain dari kota Bandung, abah konsisten berjualan kain kiloan sejak tahun 2004 silam. Toko Abah sendiri tidak terlalu besar, namun kalo kamu berkunjung kesini, kamu gak bakal kecewa karena stok bahan toko Abah Tekstil sangat banyak.

Semua jenis kain ada disini, antara lain, bahan Jersey, Velvet, Satin, Spandek, Sifon, SW, Baloteli, Brukat, Tile, dan masih banyak lagi. Termasuk bahan kebaya yang modenya selalu up-to-date. Untuk motif dan warna kain, Abah Tekstil sangat memanjakan pelanggannya. Banyak sekali pilihan warna dan motif yang tentunya sesuai dengan keinginan pasar.

Menurut Abah, saat ini kain yang sangat laris adalah bahan Diamond. “Bahan diamond banyak diborong tukang jahit, karena nyaman dipake buat hijab,” jelas Abah. Meski demikian, bukan berarti bahan kain lain tidak dilirik para pelanggannya. Sebut saja bahan BSW yang identik dengan motif beragam, juga tak kalah laku.

Abah juga menjelaskan, meski dikenal dengan sentra kain kiloan, ada beberapa jenis bahan yang juga dijual per meter. “Seperti bahan diamond ini, memang dari pusat dijual per meter, sehingga kami juga menerapkan hal yang sama,” katanya.

Untuk harga per kilo, hanya seharga Rp 95 ribu hingga Rp 180 ribu. Harga ini termasuk murah, karena dalam satu kilogram kain bisa sampai 8-10 meter kain, tergantung berat kain yang diinginkan. “Sedangkan untuk yang per meter, biasa kami jual seharga Rp 12 ribu hingga Rp 28 ribu saja,” ucap Abah kepada Seputarsumsel.com.

Harga Nego, Pilih Sepuasnya

Di toko Abah Tekstil, kamu cuma harus punya kejelian mata. Kenapa? Karena kita bisa milih sendiri bahan kain yang diinginkan. Cukup dengan membuka alas kaki, dan kamu sudah boleh ‘bergerilya’ sepuas hati di toko Abah.

Setelah puas memilih, maka bahan pilihan kamu bisa langsung dibawa ke timbangan yang udah standby di sudut toko. Untuk yang dijual per meter, kakak-kakak ganteng yang bantuin si Abah udah siap dengan guntingnya. Kamu bisa request langsung tanpa antri.

Menurut Abah, rata-rata bahan kain habis hingga 30 kg per hari, dan kain meteran bisa terjual paling sedikit 20 meter per harinya. “Toko buka dari pukul 10 pagi hingga pukul 5 sore. Silahkan kalo yang pengen buat seragam kebaya, atau butuh bahan dalam jumlah banyak, saya kasih harga khusus,” ujar Abah yang tinggal di kawasan Kuto ini.

Kalo kamu berminat untuk melihat-lihat kain kiloan disini, bisa menjangkaunya dengan angkot Jurusan Pasar Perumnas dan berhenti di terminal. Dari sana bisa langsung menuju Jalan Kampar Raya, sekitar 500 meter sudah terlihat toko Abah Tekstil di pinggir jalan. (Nurul/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments2

Lampion 🎐


Jelang Imlek, main2 ke Kelenteng Dewi Kwan Im di 10 ulu. Ribuan Lampion udah memenuhi langit kelenteng. Tahun ini, dipasang 2800 lampion mulai sepanjang jalan masuk kelenteng, sampe arah laut (sungai Musi). Pekerjaan seperti ini, selalu bisa menghibur hati. Alhamdulillah. Allah kabulkan doa disaat aq merasa tak punya semangat..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Perpustakaan Terapung, cerdaskan masyarakat perairan Sungai Musi

Nikmatnya baca buku sambil menikmati riak Sungai Musi, ini bukan mimpi lagi. Percaya, gak Saat ini sudah ada Perpustakaan Terapung yang diberi nama “Sei Rawas ” yang sengaja dibuat dan didesain oleh satuan Dit Polair Polda Sumsel, yang pada hari ini baru saja dilaunching, Senin (23/1) di perairan Sungai Musi Pulau Kemaro Palembang.

Perpustakaan terapung menggunakan kapal polisi Sei Rawas dengan nomor Lambung V-3005, memiliki panjang sekitar 16 meter loh. Di dalamnya, ada ribuan buku mulai dari buku anak-anak, pengetahuan hingga buku-buku penunjang lainnya, yang diletakkan di rak buku di sisi kanan dan kiri dek kapal dan sementara pengunjung juga disediakan kursi lengkap dengan meja ditengah dek kapal.

Gak cuma buku, disini juga tersedia komputer dan fasilitas Wifi.

Kapolda Sumsel Irjen Pol Agung Budi Maryoto mengatakan, adanya perpustakaan ini untuk diharapkan dapat membantu dalam mencerdaskan masyarakat, khususnya masyarakat perairan dan pesisir di kota Palembang.

“Kita berharap masyarakat bisa menimba ilmu dari buku disini, karena buku adalah jendela dunia,” ujar Agung.

Dit Polair gak sendirian, loh. Mereka bekerjasama dengan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Palembang dalam menyediakan buku-buku berkualitas di perpustakaan terapung ini.

Jangan malu buat dateng, kalo pas perpustakaan terapung ini sedang bersandar di perairan dekat kamu, ya guys. Bisa baca buku sepuasnya, dan gak ada batasan usia. Mau bawa pulang? Boleh, dong. Disini bisa minjem buku maksimal 3 hari dengan gratis tis tis. Hehehe…

Mau nambah wawasan, sekaligus ‘ngapung’ di Sungai Musi? mending kamu datengin Perpustakaan Terapung ini. Dijamin beda sensasinya kalo cuma baca buku di darat. Selamat mencoba (Nurul/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Menilik Hidup Tukang Cukur Legendaris Bawah Ampera

Kalo kamu berkeliling ke kawasan bawah Jembatan Ampera, apa aja yang kamu liat? Jualan baju bekas atau BJ? Sepatu? Atau handphone anyar?. Hm.. kalo kamu bergeser sedikit ke kawasan parkiran motor dan mobil di sebelah pos Polisi Pamong Praja (Pol PP) bawah Jembatan Ampera, kamu bakal nemui tukang cukur legendaris, yang udah menghuni kawasan ini sejak bertahun-tahun lalu.

Dulu, kisaran tahun 1980-an, di kawasan bawah proyek ini terdapat puluhan penjual jasa, baik jasa menjahit atau permak pakaian, maupun jasa cukur rambut khusus laki-laki, yang juga diramein dengan banyak pedagang baju, hingga kebutuhan lainnya.

Seputarsumsel.com berhasil mewawancarai salah satu dari 3 orang tukang cukur yang masih bertahan di kawasan ini. Sebut saja Bapak Magholah (56), yang sengaja merantau bersama keluarga dari Desa Ngunang, Sekayu Muba, sejak tahun 2000 silam.

Dirinya mengaku menghidupi enam orang anaknya hanya mengandalkan penghasilan sebagai tukang cukur emperan. “Sejak dulu, cuma ini satu-satunya yang bisa ngidupin saya dan keluarga. Cuma ini yang saya bisa,” ujar bapak enam anak ini.

Jasa tukang cukur seperti dirinya dan teman-teman masih menjadi pilihan, terutama bagi para pedagang di kawasan Jembatan Ampera dan sekitarnya. “Pelanggan kami masih ada, walaupun gak sebanyak dulu lagi. Dulu juga kami sering diusir, tapi kami masih bisa balik lagi ke bawah Jembatan Ampera sana. Sekarang pemerintahnya udah semakin ketat, kami benar-benar tergusur dari lokasi kami semula. Ini yang buat pekerjaan kami semakin tergerus,” katanya sedih.

Ia pun menunjuk ke arah ‘panggung’ yang berada persis di bawah jembatan. Di kawasan inilah dahulu ia dan kawan-kawan seperjuangan mengais rejeki, yang berjumlah lebih dari 8 orang. Bermodal alat-alat sederhana, kaca petak berukuran hanya selebar kepala saja, Magholah dan kawan-kawan mencari rejeki halal setiap hari, hingga pukul 5 sore.

Sepenglihatan seputarsumsel.com, peralatan terbaru dari tukang cukur disini hanyalah alat cukur listrik. Sedangkan sisir, semprotan air, bahkan kaca yang mereka miliki terlihat sudah berusia tua. Bahkan, meja yang mereka gunakan terbuat dari kayu sederhana yang sudah miring kesana-kemari.

Dari harga jasa hanya Rp 5 ribu pada tahun 2000-an, saat ini cukur rambut per orang masih terbilang murah, yakni Rp 15 ribu saja. “Harga kami terjangkau untuk kalangan menengah bawah, pedagang, dan orang-orang yang masih membutuhkan jasa tukang cukur emperan seperti kami. Harga murah kayak gini pun, kadang kalo lagi bener-bener sepi, dalam sehari gak ada satupun yang datang,” ujarnya parau.

Namun, dirinya dan kawan-kawan masih bisa bersyukur, lantaran masih bisa menggelar ‘lapak’ dikawasan ini. “Kemaren-kemaren masih diusir, tapi sekarang udah gak lagi. Kami sedikit tenang, meskipun sekarang ini paling banyak cuma 10 orang yang datang dalem sehari,” katanya.

Ia pun menceritakan suasana di bawah Jembatan Ampera, pada tahun 2000-an. “Dulu lokasi ini kotor sekali. Tidak pernah dibenahi. Sampah berserakan. Selain itu, jadi lokasi prostitusi juga. Tapi dulu rejeki kami mengalir terus. Sekarang, walaupun kawasan ini udah indah dan bersih, tapi rejeki kami sudah jauh berkurang. Apalagi semenjak pasar baju bekas juga dipindah,” papar Magholah yang kini bertempat tinggal di kawasan Talang Kelapa Palembang.

Saat sedang berbincang, Pak Magholah kedatangan pelanggan setia, sebut saja Pak Beni (52). Pak Beni menuturkan, dirinya sudah berlangganan cukur rambut di Pak Magholah sejak 10 tahun lalu. “Cuma disini yang masih murah. Lagian, hasil cukurannya rapi. Saya sudah ‘setangan’ dengan dia (Pak Magholah, red),” ujarnya senang, yang langsung disambut tawa Pak Magholah.

Kini, Magholah dan dua tukang cukur lainnya hanya bisa mengais rejeki di lahan teras bangunan tua, yang hanya ramai oleh kendaraan roda dua dan empat yang diparkir dikawasan itu. Kawan-kawan yang dahulu masih ada, kini satu per satu sudah meninggal dunia karena usia tua. Kepada seputarsumsel.com, Magholah bergumam, ia dan kawan-kawan tetap ingin mengais rejeki dengan menjual jasa cukur rambut, sampai tutup usia. (Nurul/17)

http://seputarsumsel.com/menilik-hidup-tukang-cukur-legendaris-bawah-ampera/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Berwisata Religi Ke Kawah Tengkurep

Seputarsumsel.com-Palembang,
Dibalik megahnya dermaga peti kemas, ternyata ada satu kawasan wisata religi yang bisa kita kunjungi dikawasan ini, loh. Kawah tengkurep, yang lokasinya berada disamping dermaga peti kemas, yakni di kelurahan 3 Ilir kecamatan IT II Palembang. Saat masuk ke dalam kompleks, kita akan langsung disambut dengan pohon-pohon besar, menutupi cungkup megah yang menaungi makam didalamnya.

Tahu, gak, Kawah tengkurep merupakan kompleks pemakaman keluarga Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikramo. Menurut catatan sejarah, kompleks ini dibangun pada tahun 1728, diatas tanah hibah sultan sendiri, sebagai kompleks pemakaman keluarga dan para punggawa kesultanan Palembang Darussalam. Nama kawah tengkurep sendiri berasal dari bentuk cungkup atau kubah yang menyerupai kawah yang ditengkurapkan, atau tengkurep dalam bahasa Palembang.

Dalam kompleks ini, terdapat empat cungkup atau kubah, dimana makam Sultan Mahmud Badaruddin I berada di cungkup atau kubah utama. Di kubah utama ini, terdapat makam Sultan Mahmud Badaruddin I dan keempat istrinya yakni Ratu Sepuh (istri pertama dari Jawa Tengah), Ratu Gading (istri kedua dari Kelantan, Malaysia), Mas Ayu Ratu (istri ketiga dari China, bernama asli Liem Ban Nio), dan Nyimas Naimah (istri keempat dari Palembang). Selain keempat istrinya, terdapat juga makam guru spiritual dan penasehat sultan, yakni Imam Sayyid Idrus Al-Idrus dari Yaman Selatan.

Sedangkan di tiga cungkup atau kubah lainnya, terdapat makam para sultan-sultan di Kota Palembang, putra-putri sultan dan kakek dari Sultan Mahmud Badaruddin I. Makam Sultan Mahmud Badaruddin I berdampingan dengan kelima makam lain. Namun, ada perbedaan bentuk ukiran nisan diantara makam tersebut, yakni hanya makam sultan yang memiliki ukiran sabuk, sebagai tanda kesultanan.

Nisan Tanpa Nama

Seputarsumsel.com berkesempatan untuk masuk ke dalam kompleks pemakaman Kawah Tengkurep ini. Sebelum mencapai kompleks utama, terdapat ratusan makam yang ada di kanan-kiri jalan setapak. Yang menarik perhatian, banyak sekali nisan tanpa nama disini. Bahkan, banyak makam yang hanya ditandai dengan nisan kepala dan kaki berbentuk lonjong, dan di cat warna hijau sebagai penanda. Menurut penjaga makam, “Pak Husni, sejak dulu makam-makam tersebut memang sudah tanpa nama, sehingga tidak diketahui asal-usulnya. Namun ada pula yang disertai nama, namun dengan tulisan arab gundul,” ucapnya.

Selain nisan tanpa nama, ternyata disini juga banyak nisan kayu pada makam yang sudah termakan usia. Ini terlihat dari kondisi nisan yang sudah dimakan rayap, namun masih kokoh berdiri diatas kuburan tuannya.

Setelah melewati jalan setapak, kita akan sampai di gerbang masuk kompleks utama Kawah Tengkurep. Masuk kesini harus melepas alas kaki, ya guys, karena kebersihan kompleks utama sangat dijaga. Cungkup utama tempat makam sultan berada di sebelah kanan gapura. Namun, kita masih harus melewati puluhan kuburan para panglima sultan. Lagi-lagi, makam-makam tersebut tanpa nama.

Lalu kubah utama dikelilingi tembok setebal 1,3 meter, dengan tinggi gerbang lebih dari 3 meter. Jika ada peziarah yang datang, penjaga makam akan langsung membuka gerbang. Selain itu, jika ingin berziarah ke makam-makam di cungkup lainnya, penjaga makam, Pak Husni akan dengan sigap menemani peziarah berkeliling kompleks.

“Saya ditugaskan menjaga Kawah Tengkurep ini dari kakek saya turun-temurun. Setiap hari, kompleks ini tak pernah sepi dari peziarah. Bahkan, ada yang datang dari pulau Jawa, dan Malaysia,” kata Pak Husni. Benar saja, saat seputarsumsel.com masih berbincang dengan Pak Husni, ada rombongan peziarah yang sengaja datang dari Banten. “Iya, mau ziarah ke sultan, insyaAllah,” jawabnya ketika kami menanyakan asal mereka.

Yasin dan Al-Quran Disediakan Untuk Peziarah

Ziarah ke kompleks pemakaman ini tidak terlalu banyak aturan. Setelah melepas alas kaki dari gerbang masuk kompleks utama, kita bisa langsung menuju makam Sultan Mahmud Badaruddin I di kubah utama. Di dalamnya, sudah disediakan buku yasin, dan Al-Quran bagi peziarah yang ingin membaca. Didepan makam disediakan karpet, sehingga peziarah nyaman jika ingin berdoa dan sebagainya.

Terkadang ada peziarah yang membawa air untuk disiram di makam nisan. Banyak pula yang membawa bunga-bungaan. Kompleks ini sudah dibuka sejak pukul 8 pagi. Bahkan, ada pula peziarah yang memutuskan untuk bermalam, dengan tujuan-tujuan tertentu.

“Pada dasarnya kami tidak melarang. Asalkan tujuannya sudah jelas, dan memang peziarah tersebut yakin, kami persilahkan, meski tetap dengan pengawasan kami selaku penjaga makam,” jelas Pak Husni.

Tetap berhati-hati setelah melewati gerbang masuk, jalan setapak disini sangat licin karena lumut Sebaiknya, jika ingin kesini, peziarah perempuan hendaknya menutup aurat, ya guys. Meski bukan syarat wajib, tapi gak ada salahnya menghormati ahli kubur. Selain itu, bersikap dan bertingkah lakulah yang baik selama berada di kompleks Kawah Tengkurep ini.

Kawah tengkurep membuktikan adanya sejarah kesultanan sejak berabad-abad lalu. Gak ada salahnya berwisata religi kesini, sebagai pengetahuan sejarah masa lampau yang masih dijaga hingga kini. (Nurul/17)

http://seputarsumsel.com/berwisata-religi-ke-kawah-tengkurep/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0