Ternyata, Indonesia merupakan produsen tempe terbesar di dunia,
dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Tercatat, tempe sudah ada sejak
zaman pendudukan Jepang di Indonesia, sebagai makanan para tawanan Jepang kala
itu. Dahulu, pembuatan tempe memang menggunakan daun pisang.
Di Palembang sendiri, pengrajin tempe ternyata ada di
kawasan Jalan Asia Plaju Ulu Palembang.
Seputarsumsel.com menelusuri jejak
pengrajin tempe di kampung tempe ini, dan berkenalan dengan Bapak Junaidi (43),
salah satu pengrajin yang menetap di Jalan Asia Gang Saleh Plaju Ulu Palembang.
Junaidi sendiri ternyata ‘mewarisi’ profesi sebagai
pengrajin tempe dari orangtuanya.
“Saya sudah mengenal tempe sejak kecil. Namun
baru belajar membuat tempe sejak tahun 1993 silam. Dan akhirnya saya
benar-benar terjun sebagai produsen tempe pada tahun 2000,” kenangnya.
Dikatakannya, dalam satu hari, ia mampu menghasilkan ratusan
potong tempe, yang ia jual di Pasar Kuto Palembang. Harga yang ia tawarkan
yakni berkisar antara Rp 3 ribu, Rp 4 ribu, Rp 5 ribu, dan Rp 6 ribu per
potongnya.
“Tempe dipotong sesuai ukurannya, ada yang berukuran 12x25
cm, 12x30 cm dan 12x35 cm. Ada yang dibungkus dengan daun pisang, ada pula yang
dibuat dengan plastik,” papar suami dari Marfuah (43) ini.
Dalam satu hari, ia bisa menggunakan 75 kilogram kacang
kedelai, yang didapat dari Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTTI).
Saat ini, harga kacang kedelai berkisar Rp 7.400 per kilogramnya.
Menurut Junaidi, produksi tempe terbilang gampang-gampang
susah. “ Sebagai produsen, kami harus jeli melihat bahan baku kacang kedelai yang
akan digunakan. Selain itu, proses pembuatan juga harus terus diperhatikan
terutama selama proses fermentasi, sampai benar-benar menjadi tempe,” kata
Junaidi panjang lebar.
Produksi Tempe Dulu
Dan Sekarang
Proses pembuatan tempe dimulai dari pembersihan kacang
kedelai dari kotoran. Kemudian kacang direndam selama 12-18 jam, agar kacang
bisa menyerap air sebanyak-banyaknya, yang berguna untuk proses hidrasi.
Setelah itu, kacang dicuci bersih lagi, untuk kemudian direbus sampai empuk. Kacang
kemudian ditiriskan dan diangin-anginkan, lalu ditaburi ragi tempe sembari
diaduk rata. Biasanya, ukuran ragi yang ditabur yakni 1,5 gram ragi untuk 2 kg
kacang kedelai.
Jika sudah diaduk rata dengan ragi, maka tempe siap
dibentuk, baik dengan daun pisang maupun dengan menggunakan plastik. Proses
terakhir, tempe dilubangi dengan menggunakan lidi atau garpu.
“Proses fermentasi dibantu dengan udara, supaya spora jamur
tempe (Rizhopus) bisa berkembang maksimal. Baik daun pisang maupun plastik
harus dilubangi,” ujar Junaidi.
Kini, produksi tempe tidaklah
sesulit tahun 2000-an, saat Junaidi baru memulai merintis produksi tempe.
Katanya, dahulu ragi yang digunakan dalam pembuatan tempe yakni menggunakan
laru tradisional.
“Kalau sekarang sudah ada ragi
berbasis tepung, yang juga bisa didapat di KOPTTI. Kalo untuk penggunaan daun
pisang, sampai saat ini masih ada yang mencari tempe yang berdaun pisang,
sehingga masih saya pertahankan, disamping membuat tempe yang pake plastik juga.
Intinya, proses pembuatan tempe ini bisa memakan waktu hingga 4 hari lamanya,”
tuturnya.
Junaidi tidak ingin merinci
berapa penghasilan yang ia dapat dalam sehari, namun penghasilan dari tempe
inilah yang bisa menghidupi istri dan anak-anaknya. Saat ini, terdapat puluhan
pengrajin tempe yang mewarisi profesi seperti Junaidi, dan menjual produksi
tempenya ke berbagai pasar yang ada di Kota Palembang, seperti Pasar Plaju dan
Pasar Induk Jakabaring. Biasanya, produsen tempe akan memasang plang di depan
rumahnya, dengan menulis ‘Pengrajin Tempe’.
Junaidi berharap, pemerintah bisa
memberikan perhatian lebih kepada produsen tempe seperti dirinya dan puluhan
produsen yang bermukim di sentra kampung tempe ini.
“Sejauh ini pemerintah sudah
sering memberikan penyuluhan, dan mengikutsertakan kami dalam berbagai pameran.
Kalo bisa lebih diperhatikan lagi,” ungkapnya seraya tersenyum. (Nurul/17)
0 komentar:
Posting Komentar