RSS

Dilema Sawah Sonor, Demi Hidup Atau Lahan Gambut?





Topik : Hari-hariku Di Lahan Gambut
Dilema Sawah Sonor, Demi Hidup Atau Lahan Gambut?
Di bulan Mei lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi Desa Perigi, Kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kampung ini disebut juga dengan kampung perambah. Sebutan perambah ini diberikan karena warga di desa ini dahulu hidup dari hasil menebang kayu di hutan. Saya memiliki kesempatan seharian penuh untuk melihat langsung kondisi lahan gambut yang ada di wilayah ini.
Dahulu, warga biasa merambah kayu di kawasan Padang Sugihan Sebokor, yang merupakan wilayah berstatus suaka margasatwa seluas 86.932 hektare. Selain sebagai habitat alami gajah Sumatera, berbagai satwa lain juga hidup disini, seperti beruang madu, rusa sambar, serta berbagai jenis burung seperti rangkong dan raja udang. Sebokor ini pula yang menjadi salah satu lahan yang memicu titik api di tahun 2015.
Selain merambah, sejak zaman dahulu kala pula, desa ini juga menerapkan sistem sawah sonor, sebagai salah satu mata pencaharian. Sonor adalah sistem penanaman padi tradisional di areal rawa, yang hanya dilakukan pada saat musim kemarau panjang. Dan lahan gambut disekitar Suaka margasatwa Sebokor inilah yang dikorbankan untuk sawah sonor ini. Tak ada cara lain untuk membuat sonor, selain membakar habis lahan gambut yang ada. Setelah lahan dibakar, benih padi ditanam dengan cara disebar.
Terdapat sekitar 865 hektar luas sawah yang dibuat sistem sonor. Meski status lahan yang ada adalah Areal Penggunaan Lain (APL) dan milik pemerintah, mereka seolah menutup mata. Karena, dari sawah sonor inilah, mereka bisa menghasilkan sekitar 10-15 ton beras per tahun. Atau jika diukur dengan ukuran kaleng, bisa menghasilkan sekitar 1000 kaleng beras. Praktis, dengan bersonor, mereka mampu menyimpan beras untuk makan selama setahun penuh.
Dilema datang, setelah bencana kabut asap di tahun 2015 lalu. Membakar lahan gambut untuk dijadikan sawah sonor, dianggap memicu titik api dan membuat bencana kabut asap semakin menjadi. Alhasil, mereka tak lagi bisa membuka lahan, menjalankan tradisi sejak dulu. Pemerintah memberikan opsi lain, agar kaleng beras mereka tetap terisi. Cetak sawah menjadi solusi dimata pemerintah. Masyarakat mulai menanam padi tanpa membakar lahan di tahun 2016.
Sayangnya, hasil yang diinginkan tak sesuai kenyataan. Sejak diubah sistem cetak sawah ini, lahan tergenang air hingga lebih dari satu meter, apalagi di musim penghujan seperti sekarang ini. Benih padi yang ditanam hilang begitu saja, hanyut oleh genangan air, yang diperparah dengan kanal ditengah lahan. Dari 865 hektare lahan, sekitar 652 hektare lahan yang sudah diubah sistem cetak sawah, dan semuanya tergenang. Masyarakat mengklaim, tidak adanya pendampingan dari ahli kepada masyarakat yang mengakibatkan sistem cetak sawah tidak berhasil.
Dan kini, mereka kehilangan pendapatan beras untuk makan sehari-hari, yang selama ini tak pernah mereka keluhkan. Kepada saya, warga menuturkan dilema yang mereka hadapi. Betapa tidak, jika mereka tidak membuat sawah sonor, maka lumbung beras mereka tidak akan berisi.  Sementara, pemerintah tak lagi mengijinkan untuk membuka sawah sonor. Yang mereka tahu, mereka hanya ingin bisa menyambung hidup, dan untuk memperolah beras, mereka hanya bisa mengandalkan sawah sonor.
Selain itu, meski mereka masih mampu merambah kayu di areal Suaka Margasatwa Sebokor, namun lagi-lagi pemerintah melarang, karena akan merusak keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada. Satu-satunya mata pencaharian mereka kini hanyalah berkebun karet, dimana setiap Kepala Keluarga hanya memiliki tak lebih dari 2 hektare kebun karet. Menurut pengakuan warga, hasil karet yang baru bisa dinikmati dalam hitungan tahun, tak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin melonjak.
Dari sini, bisa kita lihat bersama, dilema yang terjadi di masyarakat Desa Perigi, yang mungkin saja mewakili dilema masyarakat yang hidup di kawasan suaka lainnya di Indonesia. Bagi pemerintah dan pemerhati lingkungan, apa yang mereka lakukan dianggap merusak ekosistem. Dan parahnya, ini sudah terjadi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Entah sudah berapa banyak flora dan fauna yang ada di Suaka Margasatwa Sebokor ini habis atau bahkan punah. Namun, mereka hanya tahu kalau apa yang mereka lakukan adalah tradisi dan ilmu turun-temurun dari nenek moyang mereka, untuk tetap bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
Mereka tak tahu, betapa pentingnya lahan gambut untuk negeri ini. Bahwa untuk merestorasi lahan gambut yang sudah mereka rusak, butuh waktu dan dana yang tidak sedikit. Restorasi gambut adalah proses panjang untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari menyusutnya lahan gambut.
Banyak sekali program yang dicanangkan untuk merestorasi lahan gambut. Di Provinsi Sumsel, sebanyak 400 hektare lahan disiapkan dalam program The Bonn Challenge, yang diikuti oleh 27 negara, demi merestorasi lanskap hutan yang kritis. Restorasi ini sendiri direncanakan akan berlangsung hingga tahun 2020 mendatang. Soal dana, Badan Restorasi Gambut (BRG) Indonesia sudah mencanangkan untuk membantu dana restorasi gambut di Sumsel, yakni mencapai angka setengah miliar dollar AS, yang berasal dari dana hibah dan dana investasi.

Kompetisi Menulis #PantauGambut, website pantaugambut.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0