RSS

Zakwan : Aku pernah tinggal di Bunker Pertahanan Jepang

Foto : Mahgodie (Instagram @mahgodie)

Website : seputarsumsel.com

Instagram : @seputarsumsel

FB : Seputar Sumsel

Seputarsumsel.com-Palembang,
Tangga ke bagian pintu utama sudah berlumut, sehingga kami harus berhati-hati menapaki alas kaki. Daun kering memenuhi tangga dan depan pintu utama, menyamarkan lumut yang tumbuh. Dan saat pintu dibuka, kami disambut dengan genangan air di sekeliling ruangan depan. Pintu-pintu di dalam ruangan sudah rapuh termakan usia. Begitu banyak perabot usang yang tersisa disini, bertumpuk, mengundang laba-laba untuk membuat sarangnya. Jendela di bagian atas, kini berhadapan dengan ‘taman bermain’ angsa dan ayam peliharaan. Sesekali, kelelawar terbang mengejutkan kami.

Ini adalah kondisi terkini dari rumah perlindungan di bawah tanah atau bunker, di Jalan Joko, Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil Palembang. Tak ada yang pernah menyangka, bahwa rumah bawah tanah ini pernah dihuni oleh empat keluarga sekaligus. Namun, sejak tahun 2008 lalu, rumah bawah tanah ini sudah ditinggalkan oleh penghuninya.
Rumah pertahanan bawah tanah ini merupakan saksi bisu dari dahsyatnya Perang Dunia ke-II. Menurut beberapa cerita, rumah ini dibangun pada tahun 1942-1945, dimana Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Dan setelah Belanda angkat kaki dari tanah air, rumah pertahanan atau perlindungan ini otomatis jatuh ke tangan Jepang.
Dan setelah Jepang juga angkat kaki, maka bunker ini dialihfungsikan. Ada yang memprediksi jika dahulu rumah bawah tanah ini digunakan sebagai penjara bawah tanah. Namun yang pasti, sejak tahun 1960-an, bunker ini dijadikan sebagai rumah tinggal. Salah seorang yang pernah menjadi penghuni bunker ini selama bertahun-tahun, yakni Bapak Zakwan (77), seorang pensiunan sipil yang bertugas di Kodim 0418/Palembang.
Cerita demi cerita ia tuturkan, saat kami mendatangi bunker yang kini tak berpenghuni. Dari mulutnya, mengalir cerita dimana ia mengajak anak dan istri untuk tinggal di dalam bunker, dua bulan setelah ia menikahi sang istri tercinta, sekitar tahun 1967 silam.
Terdapat 6 kamar tidur dan satu kamar mandi di dalam bunker. Empat keluarga, termasuk keluarga Zakwan, membagi ruangan tersebut, agar bisa ditempati bersama. Dinding bungker terbuat dari beton cor yang memiliki ketebalan sekitar 0,25 meter. Tinggi dinding bunker ini 2,4 meter, dengan luas bangunan sekitar 17,8 meter x 8 meter.
Asal mula Zakwan memutuskan untuk tinggal di dalam rumah bawah tanah, karena saat ia ditugaskan di Palembang, ia tidak memiliki persiapan, sehingga saat ada tawaran untuk menempati salah satu ruangan di dalam bunker ini, ia pun langsung menyetujui. Tahun 1967, ia memboyong sang istri dan memulai hidup berumah tangga dari bawah tanah.
Tiga Anakku Meninggal, Aku Pindahkan Rumahku Keatas
Zakwan hidup di bawah tanah selama bertahun-tahun, berbagi ruangan dengan tiga keluarga lain. Di tahun itu, belum ada penerangan listrik, sehingga keseharian mereka hanya diterangi lampu teplok. Terdapat ventilasi di setiap ruangan, sehingga cahaya masih bisa masuk ke dalam pada siang hari.
Diceritakannya, selama ia tinggal di bunker, setiap ada tamu yang datang selalu bertanya, kenapa mau tinggal di bawah tanah? “Saya jawab saja, bahwa bunker inilah yang bisa menghalau hujan dan panas, melindungi anak dan istri saya,” tuturnya.
Namun, cobaan demi cobaan menerpa keluarga dengan tujuh orang anak ini. Zakwan harus menerima kenyataan jika tiga dari tujuh anaknya harus berpulang, saat ia masih bertempat tinggal di bawah tanah. “Saya tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya, ketiganya meninggal dunia karena sakit. Sehingga pada tahun 2008, saya berinisiatif untuk membangun rumah semi permanen agar bisa tinggal diatas permukaan tanah,” ungkap pensiunan sipil tahun 2006 ini.
Keinginan untuk tinggal diatas tanah bukan tanpa sebab. Ia ingin tetap bisa bersama istri dan keempat anaknya yang masih hidup. Hanya itu. Tahun demi tahun berlalu, satu per satu dari tiga kepala keluarga meninggalkan rumah bawah tanah ini. Ada yang meninggal dunia, dan anak-anak mereka satu per satu berumah tangga dan berpindah rumah. Pada akhirnya, Zakwan pun membangun rumah semi permanen tepat di atas bunker, sekitar tahun 2008 lalu. Rumah beratap genteng dan berdinding kayu-lah yang kini menjadi tempat tinggal Zakwan beserta istri, anak dan cucunya.
Anak pertama kakek empat orang cucu ini, saat ini sudah mengikuti jejaknya sebagai prajurit di Aceh, sementara anak ketiganya sudah menjabat sebagai PNS, dan anak bungsunya sedang menuntut ilmu di salah satu pesantren di kota Palembang.
Dipaparkan Zakwan, sudah ada beberapa utusan pemerintah baik dari Kodam II Sriwijaya maupun dari dinas pariwisata kota Palembang yang sudah meninjau langsung bunker ini, namun hingga saat ini, belum ada tindak lanjut dari kunjungan-kunjungan tersebut.
Kini, Zakwan masih merawat bunker bersejarah itu, meski dengan kondisi seadanya. Air masih menggenang di ruangan depan bunker, sementara barang-barang peninggalan seperti kursi, dan besi tua memenuhi setiap sudut ruangan bunker gelap ini. Secara berkala, di usia senjanya ia masih membersihkan rumah bawah tanah ini semampunya, meski kondisi rumah ini sudah sangat rapuh termakan usia. (RuL/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0