RSS

Seniman unjuk bakat di Pedestrian Soedirman Walk


Gak bosan-bosannya kita mengangkat kawasan wisata baru yakni Pedestrian Soedirman Walk (PSW), yang ada di kawasan Sudirman Palembang. Kini, PSW sudah semakin ramai, khususnya di malam Minggu. Rugi banget kalo malem Minggunya kamu gak dinikmati di lokasi ini.
Diingetin lagi nih buat kamu yang suka dengan keramaian, PSW wisata kuliner setiap malam Sabtu ya, sementara malam Minggu PSW ramai dengan wisata kuliner dan juga atraksi. Berbagai seniman hingga komunitas memenuhi trotoar Sudirman setiap malem Minggu nih. Ada music keroncong Hamkri Garuda Palembang, ada juga komunitas biola, komunitas beatbox, pelukis, dan masih banyak lagi.
Menurut Kadis Pariwisata Kota Palembang, Isnaini Madani, kawasan ini akan terus dibenahi, dan dikembangkan, baik dari sisi seniman yang hadir maupun dari pilihan kuliner.
“Sejauh ini sudah ada perkembangan di tiap minggu perjalanan PSW. Sudah ada fasilitas lavatori (toilet) untuk masyarakat, dan pilihan kuliner sudah mulai bertambah,” ungkapnya.
Ada yang menarik loh dimalam ini, yakni kehadiran polisi pariwisata dari Pol PP Kota Palembang, yang bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban, serta memberikan rasa aman kepada masyarakat yang datang ke PSW.
“Malam ini baru kita datangkan 12 orang, tetapi di minggu-minggu berikutnya akan di terjunkan 60 orang yang di bagi shift dan harinya. Mereka bukan sekedar menjaga keamanan ya, tetapi juga bisa menjadi guide. Mereka dibekali pengetahuan wisata kota Palembang dan juga menguasai bahasa asing,” ujar Kasatpol PP Kota Palembang, Alex. Seru banget ya, kalo kita dipandu oleh guide berpakaian polisi pariwisata yang cantik dan ganteng.
Salah satu seniman jalanan yang ikut beratraksi disini yakni grup Putra Angklung Kencana Jawa Barat. Grup yang di ketuai oleh Lucky Adi Nugraha ini, biasanya cuma keliling komplek perumahan, di kawasan pasar 16 Ilir dan kawasan IP Mall. Namun, sejak dibukanya PSW, grup ini ketiban rejeki.
“Disini pendapatan lumayan, kami berenam main dari jam 8 malam sampe sekitar jam 10-11 malam. Kawasan ini ramai, dan orang banyak yang suka dengan atraksi kami. Jadi setiap malam Sabtu dan Minggu kami akan selalu hadir menghibur masyarakat disini,” ujarnya.
Meski demikian, mereka mengaku belum memiliki sound system, supaya bisa menarik penonton lebih banyak lagi. “Suara sampe mau habis, karena biasanya kami keliling kota gak pake sound system. Tetap kalo di pedestrian ini rasanya perlu, ya. Semoga pemerintah bisa memperhatikan kebutuhan seniman yang ada di kawasan ini,” ujar Lucky.
Grup yang digawangi Lucky, Maulana (Bedug), Yuda (angklung), Yunus (kentongan), Sarta (tamborin) dan Kasmuri (bedug bass) ini juga bisa dipanggil untfuk mengisi acara pernikahan, sunatan atau yang lainnya loh. Bisa di kontak langsung di Hp. 08127820731.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Menelusuri perkampungan Arab Kuto Palembang


Pernah lihat tradisi Ziarah Kubro, yang dimulai dari Kampung Arab Kuto hingga ke Makam Kesultanan Palembang Darussalam di Kawah Tengkurep Palembang? Tradisi ini dikenal dari umat muslim yang bermukim di kampung Arab. Namun ternyata, kampung Arab di Kota Palembang gak cuma satu, loh. Melainkan disepanjang aliran Sungai Musi. Yakni di Lorong Beringin Jaya Kecamatan Ilir Timur II, Lorong Sungai Lumpur di Kelurahan 9-10 Ulu, Lorong BBC di Kelurahan 12 Ulu, Lorong Almunawar di Kelurahan 13 Ulu, Lorong Alhadad, Lorong Alhabsy, dan Lorong AlKaaf di Kelurahan 14 Ulu.
kampung arab kuto8
Photonya Moehammad Tohir
Kampung Arab yang saat ini sudah mulai dikenal publik adalah Kampung Arab Al-Munawwar, sejak diadakannya Festival Kopi Al-Munawwar 29-30 Oktober 2016 lalu. Tapi gak ada salahnya kita juga tahu kampung Arab lainnya yang ada dan kali ini Seputarsumsel.com mencoba menelusuri Kampung Arab Kuto, yang berlokasi di Jalan Slamet Riady Lorong Beringin Jaya Pasar Kuto, Kelurahan Kutobatu, Kecamatan Ilir Timur II Palembang.
Apa, sih yang menarik dari Kampung Arab ini?. Ternyata, banyak sekali tradisi yang masih dijaga di kampung yang konon sudah ada sejak tahun 1900-an. Salah satunya Ziarah Kubro tadi. Ziarah Kubro merupakan tradisi yang dilakukan dalam menyambut datangnya Bulan Ramadhan. Ribuan umat Muslim akan bersama-sama membawa umbul-umbul bertuliskan kalimat-kalimat tauhid dan diiringi dengan tabuhan rebana. Tujuan dari tradisi ziarah kubro ini adalah untuk mengenang dan menghormati para ulama yang melakukan siar Islam di kota Palembang yang ditauladani ribuan umat Muslim.
Selain ziarah kubro, ada pula tradisi rumpak-rumpakan, yakni tradisi ‘sanjo’ dalam bahasa Palembang. Seusai sholat Idul Fitri, kaum laki-laki akan berkumpul dan bertandang kerumah-kerumah yang dituakan di kampung Arab ini, dan biasanya dilakukan selama 2 hari. Tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun sejak ratusan tahun lalu, loh. Rumpak-rumpakan memang dilakukan secara beramai-ramai, sehingga bisa dilihat banyak orang, dan bisa menjadi pengingat betapa pentingnya silaturahmi
Mushola ditepian sungai yang menjadi penanda
Pernah ngerasain sholat ditemenin angin sepoi-sepoi, dan diiringi riak sungai Musi? Kalo belum, coba deh melipir ke Kampung Arab Kuto ini, dan bertandang ke Mushola Al-Muslimun, yang terletak persis di pinggir Sungai Musi. Mushola ini terdiri dari 2 lantai, yakni lantai satu untuk Taman Pendidikan Al-Quran dan lantai 2 mushola Al-Muslimun.
kampung arab kuto4
Photonya Moehammad Tohir
Lantai 1 terdiri dari 4 ruangan kelas, yang didalamnya terdapat kursi dan meja sederhana untuk anak-anak yang belajar mengaji. Salah seorang ustadzah, Fadilah (33) mengatakan, ada sekitar 40 orang anak-anak yang mengaji di TPA An-Nisa, nama TPA di mushola ini. Meski dengan segala keterbatasan, belajar mengaji tetap menjadi prioritas di Kampung Arab sejak dulu.
“Saat mereka udah lulus SD, mereka juga udah wajib khatam Al-Quran. Makanya mereka udah masuk TPA sejak usia dini,” papar Fadila kepada Seputarsumsel.com. TPA dimulai pada pukul 3 sore, dan belajar selama 1 jam setiap Senin hingga Sabtu. Saat ini, ada 5 ustadzah yang mengajar, dengan pembagian kelas ngaji pagi dan sore hari.
Mushola Al-Muslimun langsung menghadap Sungai Musi. Disisi batasnya dipasang pagar besi, agar anak-anak aman bermain di area pinggir mushola. Di area luar ruangan TPA, wajib lepas sepatu, loh, karena udah memasuki area mushola, meski ruang sholat ada di lantai 2.
kampung arab kuto5
Photonya Moehammad Tohir
Bangunan mushola sendiri masih terbuat dari kayu unglen. Tangga, maupun jendela mushola masih mengadopsi gaya lama. Namun, saat ini mushola tersebut akan direnovasi karena sudah banyak mengalami kerusakan. Terdapat banner bertuliskan ‘Mushola Akan Direnovasi’ di pintu masuk, lengkap dengan rekening donasi panitia renovasi mushola. Renovasi dilakukan agar mushola ini tetap bisa digunakan untuk beraktivitas bagi masyarakat Kampung Arab Kuto.
Kampung Arab Kuto bisa digapai lewat jalur darat maupun jalur sungai. Jalur darat, kamu bisa langsung menuju lorong Beringin Raya yang terletak di samping Pasar Kuto Palembang. Namun, kalo kepingin lewat jalur sungai, bisa naik perahu ketek dari seberang ulu, atau dari Kampung Arab Al-Munawwar. Ketek bisa disandarin langsung ke pintu masuk mushola di pinggir Sungai Musi. (Nurul/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments1

Jelang Imlek, muda-mudi Vegetarian lakukan tradisi pembersihan patung Budha


Jelang Imlek 2568 di tahun 2017 ini, terdapat tradisi tahunan pembersihan patung Buddha, di Vihara Dharmakirti Palembang yang dimulai pada hari ini, Minggu (22/1). Pembersihan patung dilakukan oleh sekelompok muda-mudi umat Buddha ini pun menjadi sebuah tradisi yang secara turun temurun dilakukan dalam setiap perayaan Imlek sebagai sebuah makna pembersihan diri dalam menciptakan suasana baru di tahun yang baru pula.
Patung Budha2

Photonya Moehammad Tohir



Ada keunikan dalam tradisi pembersihan patung Budha ini, dimana sekelompok muda-mudi ini merupakan para Vegetarian dan harus melakukan puasa sebelum melakukan pembersihan.
Berdasarkan pantauan Seputarsumsel.com, sekitar pukul 1 siang muda-mudi ini pun mulai bekerjasama membersihkan patung-patung yang ada, termasuk bagian-bagian dari persembahan, seperti menyusun lilin teratai, menyediakan dupa, dan meletakkan bunga, yang merupakan bagian dari sepuluh persembahan kepada Buddha.
Wakil Ketua Yayasan Buddhakirti Vihara Dharmakirti, sekaligus Wakil Ketua Majelis Budayana Sumsel, Sukanto Muliawan mengatakan, tradisi ini biasanya dilakukan seminggu sebelum Imlek tiba, dan biasanya dilakukan oleh muda-mudi kaum vegetarian yang memang harus suci. “mereka biasanya harus berpuasa dulu sebelum melakukan pembersihan, hal ini menandakan mereka juga harus suci dalam menghadap Budha untuk dibersihkan agar menjadi berkah di pergantian tahun baru ini,” ungkapnya.
Patung Budha3

Photonya Moehammad Tohir



Menurut salah satu peserta pembersihan patung Budha di Vihara ini, Rafael, pembersihan ini dilakukan sebagai warisan yang sebelumnya sudah dilakukan oleh leluhur terdahulu. Bukan hanya saja Vihara, tetapi juga rumah kita sendiri agar dalam menyambut tahun baru ini kita lebih bisa lebih baik lagi, dibukakan kerahmatan dan rejeki, tambahnya.
Bukan hanya bagian patung saja yang dibersihkan, tetapi juga seluruh ruangan yang ada di Vihara, guna menyambut Imlek yang jatuh 28 Januari nanti. Menurut Sukanto, tradisi pembersihan ini biasanya selesai dalam satu hari, tutupnya. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Bidar Mini


Apa jadinya jika Halilintar, Raja Rimba, Raja Sirep, Serunting Sakti, hingga Buaya Buras beradu diatas Sungai Pada Bonggoh? Jawabannya, seru! Yap itulah sejumlah nama beken bidar mini yang mengikuti perlombaan Bidar Mini dalam rangka Ulangtahun Kelurahan Karya Jaya Kecamatan Kertapati Palembang yang ke-40.
Sebanyak 65 perahu bidar mini yang didayungi oleh 5 orang, mengikuti perlombaan yang memperebutkan piala bergilir Lurah Karya Jaya ini. Kepada Seputarsumsel.com, Lurah Karya Jaya, M Yusli mengatakan, dirinya menyambut baik ide dari para tokoh masyarakat, ketua RT dan RW yang berada di Kelurahan Karya Jaya untuk menggelar perlombaan ini.
4“Dan perlombaan itu pun digelar semuanya berkat swadaya masyarakat. Lomba bidar mini ini sendiri sempat mati suri sekitar 3-4 tahun, sehingga saya dan masyarakat bersemangat untuk memunculkan lagi tradisi ini. Ulangtahun kelurahan sendiri jatuh pada tanggal 29 Januari lalu, namun baru kami realisasikan di hari ini,” kata Yusli, Minggu (5/2) di Boom Muaro Kelingi, Kelurahan Karya Jaya Palembang.
Tercatat, sudah lebih dari 20 kali lomba bidar ini digelar, dan selalu diramaikan oleh masyarakat kelurahan Karya Jaya. Hal inilah yang membuat Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang, Isnaini Madani ingin memasukkan perlombaan ini menjadi salah satu agenda dalam kalender pariwisata di Kota yang terkenal akan Megahnya Jembatan Ampera dan Eloknya Sungai Musi tersebut.
“Akan sangat bagus jika dikemas dalam pariwisata Kota Palembang, dan menghasilkan economic value. Selain itu, bisa kita dimasukkan pula kedalam calendar of event, sehingga bukan hanya masyarakat sekitar saja yang menyaksikan perlombaan bidar mini ini. Wisatawan lokal maupun mancanegara juga bisa. Jika bidar mini akan diadakan lagi, saya bisa memasukkannya dalam kalender tahun ini,” tegas Isnaini
5Selain itu, ia juga menilai, budaya seperti ini juga bisa menjadi salah satu pertunjukan yang bisa dimasukkan dalam paket wisata, bekerjasama dengan tour and travel yang ada di Kota Palembang.
Walikota Palembang, Harnojoyo juga berkesempatan untuk meninjau langsung jalannya perlombaan bidar mini ini. Dikatakannya, tradisi seperti ini juga patut dilestarikan, agar menjadi suatu ikatan kebersamaan antar masyarakat.
“Dahulu, kan perahu bidar atau yang juga disebut perahu calang ini adalah perahu yang berfungsi untuk menghalau perompak yang ingin mengganggu kerajaan Sriwijaya dari wilayah sungai. Oleh karena itu, tradisi seperti ini jangan sampai hilang. Animo masyarakat luar biasa, saya salut. Bukan tidak mungkin, selain dimasukkan dalam kalender event pariwisata Kota Palembang, bidar mini ini akan saya munculkan dalam perhelatan Asean Games 2018 nanti,” katanya bangga.
Pembangunan Jembatan Musi 5 Menyatukan Masyarakat Pinggir Sungai
Adanya permintaan masyarakat untuk meminta kepada Pemerintah Kota Palembang agar dibuatkan jembatan penghubung antara boom Muara Kelingi dengan desa seberang, turut menjadi perhatian Harnojoyo. Dikatakan Harno, pembangunan akan terus berlanjut dan mengedepankan kepentingan masyarakat.
“Saat ini sudah ada pembangunan musi 4, musi 5 dan musi 6, dimana musi 5 akan menjadi jembatan penghubung melewati sungai keramasan ini. Semua demi kelancaran transportasi yang ada di wilayah perairan,” katanya mantap.
Selanjutnya orang nomor satu ini pun mengajak seluruh masyarakat di kawasan Sungai Pada Bonggoh untuk terus menjaga budaya bidar mini agar tetap lestari, sehingga nantinya tradisi tersebut menjadi sebuah daya tarik wisata yang mampu mendorong sektor pariwisata di Kota Palembang terlebih hal ini bisa dikenalkan pada wisatawan mancanegara saat pelaksanaan Asian Games mendatang. Yuk kita lestarikan bersama dengan memberikan dukungan kepada pemerintah, agar tradisi seperti ini bisa terus berjalan. (Nurul/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Di Kampung Al-Munawar Gulali diuleni anak-anak ini





Coba ingat-ingat, udah berapa lama kalian gak nyicipin gulali? pasti kangen ya dengan nama jajanan yang satu ini. Beruntungnya, sekarang kamu bisa request jajanan ini di salah satu kampung yang udah diresmikan sebagai kampung wisata, yakni Kampung Arab Al-munawar 13 Ulu Palembang.
Saat seputarsumsel.com mengikuti acara peresmian kampung wisata Al-Munawar kami bertemu dengan anak-anak kampung Arab penjual gulali, di lorong jalan kampung menuju pinggir sungai.
Thalha (7), anak perempuan berambut pendek yang bernama lengkap Thalha Talita Shahab, sedang sibuk menguleni gulali berwarna kuning. Tangannya dengan cekatan menguleni, dibantu stick eskrim ditangannya.
Harga untuk satu stick gulali jualan Thalha dijual seharga Rp 2000. Ketika ditanya, siapa yang menyuruhnya untuk berjualan gulali, Thalha yang merupakan anak ketiga dari pasangan Khaidar dan Fatma ini langsung menjawab dengan polosnya,” Gak ada. Mau jual sendiri. Dibuatin sama Umi, trus jualan,” ungkapnya.
Diakui Thalha, ia sudah belajar menguleni gulali sejak berusia 3 tahun, diajari oleh Khalatih, yakni sebutan bibi di kampung arab. Dan ketika ditanya, kenapa mau berjualan gulali seperti ini, Thalha menjawab dengan santai,”Uang jualannya buat nabung.”
Ternyata, Thalha yang saat ini bersekolah di SD Adabiyah Darat kelas 2 ini gak sendirian. Ia dibantu sang kakak perempuan, Nabila dan teman-teman cilik lainnya. Mereka sibuk menguleni gulali bersama-sama. Bukan hanya sesama anak kecil yang sibuk membeli, bahkan pengunjung yang lewat juga banyak yang tertarik dan membeli gulali tersebut.
Gulali sendiri terbuat dari gula yang dimasak dengan air lalu didinginkan dan dikasih pewarna sesuai keinginan. Ada warna kuning, hijau, biru, dan lain-lain. Di tangan Thalha, kamu bisa membeli gulali yang diuleni ataupun yang langsung diambil menggunakan stick.
Sang ibunda Thalha, Fatma mengatakan, biasanya memang jika ada acara di kampung Arab Al-Munawar, Thalha kepingin berjualan gulali. “Iya, anaknya aktif, jadi saya turuti saja. Ini juga kegiatannya positif,” ujarnya senang.
Mau pesan jajanan gulali dan diuleni langsung oleh anak-anak kampung Arab? Dateng aja langsung di kampung Arab Al-Munawar ini. Pst, selain gulali, kamu juga bisa loh memesan makanan khas kampung ini, mulai dari Nasi Kebuli hingga kopi rempah sambil berkeliling menikmati keindahan kampung yang sudah berdiri ratusan tahun ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

PariwisataTraveling Tuan Kentang, destinasi wisata kain khas Palembang

Kawasan Tuan Kentang merupakan kawasan yang banyak dihuni pengrajin kain khas Palembang, seperti jumputan dan songket. Oleh karena itu, disini didirikan Griya Kain Tuan Kentang, yang baru saja diresmikan oleh Walikota Palembang Harnojoyo, bersama Deputi Gubernur Bank Indonesia, Rosmaya Hadi beserta jajaran pemerintahan dan Bank Indonesia Perwakilan Sumsel, Jumat (17/2).
1Menurut Harnojoyo, Griya ini merupakan wadah untuk memamerkan hasil kain yang dibuat oleh pengrajin di kawasan ini.  “Kain khas Palembang ini sangat bernilai, jadi harus ada wadah yang bisa menampungnya. Saya harap griya ini mampu meningkatkan perekonomian masyarakat Tuan Kentang,” kata Harno.
Dilanjutkannya, nantinya Griya kain ini akan menjadi salah satu destinasi wisata dan pusat oleh-oleh di Kota Palembang, dimana program pariwisata akan bersinergi dengan tour & travel yang ada.
Senada dengan Harnojoyo, Rosmaya juga mengungkapkan tingginya potensi penyerapan tenaga kerja yang ada di kawasan Tuan Kentang ini. “Selain pariwisata, kami berharap griya ini mampu meningkatkan UMKM pengrajin yang ada di kawasan ini. Bayangkan saja, pada tahun 2014 jumlah UMKM di Indonesia mencapai 57,9 juta unit, sementara penyerapan tenaga kerjanya mencapai 107,7 juta orang tenaga kerja. Ini artinya, UMKM ini bisa survive, asalkan dilakukan pendalaman dan adanya bantuan,” ungkapnya.
Dipaparkan Rosmaya, ada dua hal yang bisa mempengaruhi peningkatan UMKM di daerah, yakni UMKM mampu menerangkan produk dengan baik, dan produk yang dihasilkan memang berkualitas baik. “Jika dua hal tersebut diterapkan, mudah-mudahan UMKM Griya Kain Tuan Kentang ini mampu menembus pasar hingga ke ranah internasional,” tuturnya penuh harap.
Kain khas Palembang yang dipamerkan di Griya Kain Tuan Kentang antara lain jenis songket dan kain tenun jumputan. Harga yang ditawarkan berkisar antara Rp 350 ribu hingga Rp 800 ribu untuk kain tenun jumputan, dan kain jumputan berkisar Rp 300-an.
Salah seorang pengrajin, Wati (42) mengatakan, motif yang paling laku dari kain jumputan yakni jumputan titik tujuh, titik empat dan titik sembilan. “Selain paling laris, jenis jumputan ini juga terbilang lama dalam proses pembuatannya, yakni sekitar satu bulan,” ujar Wati seraya memamerkan kain jumputan miliknya.
watermark newDalam peresmian Griya Kain Tuan Kentang, juga dipamerkan Fashion Show karya Brilianto, desainer kelahiran Jakarta 1 Desember 1993, yang mengangkat tema Swarna Sriwijaya.
Dikatakannya, ia bekerjasama dengan pengrajin di kawasan Tuan Kentang, termasuk dalam hal pewarnaan dan pembuatan motif kain jumputan yang ia inginkan. “Saya memberdayakan pengrajin disini, karena memang di kawasan Tuan Kentang sudah dikenal sekali, ya. Kali ini saya mengangkat kain jumputan yang dominan berwarna pastel, desain party dress yang ringan tapi tetap casual,” jelasnya.
Menariknya, harga untuk satu buah karyanya dibanderol seharga Rp 1 juta hingga Rp 5 juta. Selain mengusung kain jumputan, Brilianto juga banyak mengusung kain khas Palembang lainnya, seperti kain songket, tajung, dan prada.
Berminat mengkoleksi kain jumputan? Langsung aja berkunjung ke Griya Kain Tuan Kentang, di Jalan Aiptu A Wahab Kelurahan Tuan Kentang Palembang. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Syarofal Anam ceritamu kini !


Ada yang tahu tentang Syarofal Anam? Dewasa ini, banyak sekali kuliner, budaya dan adat istiadat Bumi Sriwijaya yang mulai menghilang perlahan. Ada makanan telok ukan yang hanya muncul ketika akan menyambut hari kemerdekaan. Ada pula gulo puan yang kini hanya bisa ditemui di kawasan Masjid Agung Palembang pada hari Jumat siang. Bicara soal budaya dan tradisi, ternyata saat ini ada satu tradisi yang sudah mulai jarang terdengar, meski tradisi ini masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat secara turun temurun, yakni Syarofal Anam.
Syarofal Anam atau Terbangan adalah seni adat Sumsel yang sudah lama dipake untuk mengisi berbagai acara adat seperti pernikahan, Maulid Nabi Muhammad SAW, Duabelasan dan lain-lain. Kesenian islami ini dibawa para saudagar Arab dulu dan kemudian mengakar di Palembang. Syarofal Anam ini adalah syair pujian akan kebesaran Nabi Muhammad SAW, yang merupakan utusan Allah yang terakhir di muka bumi.
Syarofal Anam ini membuktikan bahwa Kesultanan Palembang Darussalam benar-benar menggenggam erat keislaman, hingga dibawa ke dalam tradisi. Biasanya, anggota Syarofal Anam menggunakan baju tuluk belango atau juga sarung, dan menggunakan hiasan kepala baik tanjak maupun peci. Anggota Syarofal Anam minimal berjumlah sepuluh orang, loh. Rame kan !
Tradisi syarofal anam ini sendiri memiliki ciri khas, yakni terbangan yang terbuat dari kulit ikan pare. Wah.. apa menariknya kulit ikan pare untuk terbangan?
Budayawan Palembang Ali Hanafiah mengatakan, dahulu terbangan masih menggunakan kulit ikan pare asli, dimana kulit ini diolah terlebih dahulu sebelum dibuat terbangan. Dengan kulit ikan pare, terbangan akan menimbulkan suara khas.
“Tapi sekarang terbangan banyak terbuat dari kulit sapi atau kambing, karena banyak orang yang tidak mau susah payah mengolah kulit pare. Alasan lain juga karena langkanya penggunaan kulit pare. Kulit pare ditekan dengan sidak, supaya kencang. Dan kalo sudah dipake, biasanya dilepas lagi biar bisa dilenturkan lagi. Sekarang sidak diganti dengan plastik. Padahal, terdapat perbedaan suara yang sangat mencolok antara kulit pare dengan yang lainnya,” papar Amin, panggilan akrab sejarawan ini.
Kalo mau lihat terbangan asli dari kulit ikan Pare, masih bisa kita temukan di Museum SMB II. Terbangan gak sembarangan dimainkan, loh. Gak asal tepuk dengan tangan. Dalam terbangan, kita harus mengetahui tepukan irama yang di tepuk di pinggir terbangan, di tengah terbangan maupun di kuningan terbangan.
“Ada iramanya, ada tepukan di masing-masing irama, disesuaikan dengan dzikir yang disebut. Gak sembarangan terbangan dibunyikan,” katanya. Selain itu, ada gerakan Rodat, yakni duduk dengan bentuk lamat sumpit, dan melakukan gerakan silang.
Syarofal Anam nasibmu kini
Dulu, anak-anak selalu sibuk belajar Syarofal Anam setiap malam Minggu. Maka dari itu, di masa silam jarang ada anak-anak yang salah pergaulan. “Kalo dulu, mereka disuruh orangtua belajar Syarofal Anam, yang sarat dengan dzikir dan kedekatan dengan Allah SWT dari kitab Al-Barzanji. Tapi sekarang Syarofal Anam saja orangtua gak banyak yang tahu. Apalagi mau mempelajarinya,” ungkap Amin. Hmm.. bener juga ya. Teknologi mengubah dunia, memang benar adanya.
Syarofal Anam ini masih dipake di berbagai kesempatan, namun tidak lagi sesering dahulu. Menurut Amin, grup Syarofal Anam masih ada di kawasan 19 Ilir dan di 27 Ilir Palembang.
“Kalo dahulu, Syarofal Anam juga dipake untuk acara Duabelasan, yakni memperingati tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 sehingga setiap bulan kita mengadakan dzikir bersama diawali dengan Syarofal Anam ini. Kalau untuk grupnya, kemungkinan masih ada di Jalan Kapten Cek Syech Lorong Gabsah yang merupakan singkatan dari Gabungan Syarofal Anam. Saat ini Syarofal Anam masih dipake, tapi gaungnya sudah mulai berkurang,” ungkap Amin sendu. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Gending Sriwijaya, tari penyambut nan tulus


Di kala ku merindukan keluhuran dahulu kala,
Kutembangkan nyanyian lagu Gending Sriwijaya,
Dalam seni kunikmati lagi zaman bahagia,
Kuciptakan kembali dari kandungan Sang Maha Kala,
Sriwijaya dengan Asrama Agung Sang Maha Guru,
Tutur sabda Dharmapala Sakyakhirti Dharmakhirti,
Berkumandang dari puncaknya Seguntang Maha Meru,
Menaburkan tuntunan suci Gautama Buddha sakti.
Borobudur candi pusaka zaman Sriwijaya,
Saksi luhur berdiri teguh kokoh sepanjang masa,
Memahsyurkan Indonesia di tengah Asia,
Melambangkan keagungan sejarah Nusa dan Bangsa,
Taman Sari beserta emas perak Sri Ksetra,
Dengarkanlah bualan bagai di Surga Indralaya,
Taman puji turunan Maharaja Syailendra,
Mendengarkan irama lagu Gending Sriwijaya.
(Lirik lagu Gending Sriwijaya)
Bumi Sriwijaya menyimpan banyak kebudayaan yang sangat bernilai. Apalagi kalo melirik kebudayaan seni yang ada, salah satunya yakni seni tari. Dan sebagai orang Palembang, tentunya kita harus tahu nih, apa saja sih budaya seni tari yang masih terjaga hingga kini. Salah satunya, yakni tari Gending Sriwijaya.
Tari Gending Sriwijaya, siapa yang gak kenal dengan budaya tari yang satu ini. Tarian ini dipertunjukkan untuk menyambut tamu istimewa pemerintahan, dibawakan oleh 9 penari yang mencerminkan Batanghari Sembilan. Menggunakan busana adat Aesan Gede, Selendang Mantri, Paksangkong, Dodot dan Tanggai, ke sembilan penari ini menari sesuai dengan alunan lagu yang khidmat.
Tari ini diciptakan untuk memenuhi permintaan dari pemerintah di era pendudukan Jepang. Nah, saat itu, Jepang meminta kepada Jawatan Penerangan (Hodohan) untuk menciptakan sebuah tarian guna menyambut tamu yang datang ke Keresidenan Palembang (sekarang menjadi Pemprov Sumsel).
Penata gerak tarinya yakni Tina Haji Gong dan Sukainan A Rozak. Mereka mencari berbagai konsep tari dan kemudian dikumpulkan dengan mengambil unsur-unsur tari adat Palembang yang sudah ada. Berproses sejak tahun 1943, dan tarian ini selesai di buat pada tahun 1944.
Musiknya, yakni diciptakan oleh komposer yang juga violis grup Bangsawan Bintang Berlian Palembang, A Dahlan Muhibat. Generasi penerus harus tahu nih, buat lagu Gending Sriwijaya gak mudah lho. Ia memadukan lagu Sriwijaya Jaya yang diciptakannya dengan konsep lagu Jepang, di tahun 1943.
Tari ini pertama kali di pertunjukkan di muka umum pertama kali pada tanggal 2 Agustus 1945 di halaman Masjid Agung Palembang. Saat itu, sedang diselenggarakan upacara penyambutan kedatangan M Syafei, Ketua Sumatora Tyuo In yang merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera, dan Djamaluddin Adinegoro, Ketua Dewan Harian Sumatera. Sedangkan liriknya dibuat oleh Nungcik AR.
Makna dari tarian ini adalah menncerminkan sikap tuan rumah yang ramah, gembira, bahagia dan tulus dalam meyambut tamu istimewa.
Meski hanya sementara, tarian ini sempat dibekukan lho, dan digantikan dengan tari Tepak Keraton. Kenapa ya? Alasannya, ternyata karena Nungcik AR si pembuat lirik lagu gending, disinyalir terlibat dalam lembaga kesenian rakyat dibawah naungan PKI.
“Waktu itu, ayah saya sempat memberikan saran kepada pemerintah, jangan hanya karena penciptanya terlibat organisasi terlarang, sehingga seni tari ini dibekukan. Kita tidak punya banyak budaya seni tari yang bisa diturunkan,” ujar Budayawan, Ali Hanafiah atau yang akrab disapa Pak Amin.
Dikawal Dua penari
Pertama kali dipertunjukkan di muka umum, tarian gak cuma di bawakan 9 penari lho. Ke sembilan penari ini di kawal oleh dua penari lagi, yang membawa payung dan tombak. Dan di belakang sembilan penari, berdiri penyanyi lagu Gending Sriwijaya, yang diiringi dengan sajian musik gamelan dan gong asli.
Tapi kini tarian ini sudah banyak mengalami perubahan. Penyanyi sudah di gantikan fungsinya dengan kaset saja, sedangkan pengawal penari sudah jarang dibawakan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Caotu, perayaan doa roh leluhur bagi umat Tri Dharma


Ada yang tahu gak hari ini ada acara apa? Yap, bagi umat Tri Dharma, hari ini spesial banget, karena ada perayaan hari Ulambana (Caotu). Itu tuh, perayaan untuk mendoakan sekaligus memberikan persembahan roh leluhur.
Makanya, malem ini, Selasa (05/09), ratusan warga Tri Dharma memadati Kelenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) atau lebih dikenal Kelenteng Dewi Kwan Im yang terletak di 10 Ulu, Palembang, demi ngerayain hari keagamaan tersebut.
“Dalam kepercayaan Tri Dharma, pada bulan ketujuh penanggalan Imlek, arwah leluhur dilepaskan dan bergentayangan di sekitar kita. Makanya, ritual ini dimaksudkan untuk mendoakan mereka,” kata Humas Kelenteng Chandra Nadi, Harun.
Ia juga menambahkan, pada bulan ketujuh penanggalan Imlek pada tahun ini, jatuh pada akhir Agustus hingga pertengahan bulan September nanti. Dalam satu bulan itu warga Tri Dharma akan melakukan doa yang bertujuan agar roh leluhur gak mengganggu dan memperoleh berkah melimpah.
Nah, puncak Ritual Ulambana (Caotu) terjadi pada pertengahan bulan yang jatuh pada hari Selasa hari ini. Ritual doa berlangsung mulai jam 7 pagi dan berakhir pada jam 11 malem. Ritual ini sendiri dipimpin seorang Biksu Tri Dharma dengan penyampaian doa, ritual pengarakan dan berakhir pembakaran Tosu, atau yang disebut Jenderal Arwah.
“Pembakaran Tosu dimaksudkan untuk mengutus Tosu untuk mengawasi arwah lelulur supaya gak menggangu selama berada disekitar kita hingga akhir bulan ketujuh nanti,” tambahnya.
Dalam kepercayaan Tri Dharma, Bulan ke tujuh penanggalan Imlek merupakan kesempatan untuk sebanyak mungkin melakukan hal-hal baik lho, termasuk berderma. Pada bulan ini juga derma atau persembahan umat Tri Dharma dihimpun di kelenteng dan selanjutnya akan disumbangkan kepada orang yang membutuhkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Dari Tas Yang Rusak, Aku Bisa Kuliahkan Anakku


Seputarsumsel.com, Palembang - Bekerjalah seakan-akan kau hidup selamanya, dan beribadahlah seakan-akan kau akan mati besok. Pepatah ini nusuk banget, ya guys. Kali ini, seputarsumsel.com kepingin ngangkat salah satu sosok inspiratif yang bersahaja, dimana di usia tuanya ia masih saja membanting tulang setiap hari. Bukan karena gelar sarjana dibelakang namanya, melainkan karena sosok ini mampu membuktikan kepada kita, bahwa semangat tak akan berkurang meski usia di dunia terus merenta.

Namanya Pak Sofyan, yang sudah berusia 75 tahun. Ia adalah satu dari dua orang yang saat ini masih mempertahankan profesi jasa servis tas, di kawasan Sekanak Jalan Temon Palembang. Kepada kami, ia banyak bercerita tentang pahit manisnya kehidupan, memperbaiki tas berbagai merk yang masih disayang pemiliknya.

Sofyan menceritakan, ia mulai belajar tentang servis tas sejak masih sekolah di bangku Sekolah Menengah Atas. “Iya, paginya sekolah, pulangnya langsung belajar menservis tas dari orang-orang zaman dulu,” ujarnya.

Sofyan tidak merinci siapa orang-orang zaman dulu yang ia maksud, namun ia masih mengingat banyak, di zaman itu servis tas masih menjadi profesi utama banyak orang.

“Seingat saya, saya sekolah itu sekitar tahun 1963. Zaman itu masih banyak sekali tukang servis tas, saya bisa belajar sama siapa saja,” paparnya.

Sebelum ia membuka jasa servis tas sendiri di tahun 1968, Sofyan sempat mencicip berbagai pekerjaan, seperti berjualan roti keliling dan sebagainya. “Mungkin takdir saya untuk berprofesi seperti ini, tahun 1968 saya baru buka jas servis tas sendiri, berbekal pengalaman belajar zaman sekolah,” ungkapnya.

Awalnya, ia membuka usaha di Jalan Kapten Cek Syech Palembang, bersama seorang teman. Namun, itu tidak bertahan lama, karena sesuatu dan lain hal. Barulah pada tahun 1989, ia memiliki rejeki untuk bisa membuka jasa servis di Jalan Temon Sekanak Palembang.

Pelanggan Dari WO Hingga Pekerja Seni Palembang

Selama hampir 50 tahun berprofesi sebagai jasa servis tas, Sofyan tak kenal lelah mengayunkan tangan diatas tas robek pelanggan, bergelut dengan benang dan jarum. Namun, diakuinya, dari sekian banyak orang yang berprofesi sama dengan dirinya, saat ini hanya tinggal dua orang saja yang masih bertahan. Mengapa?.

“Saya bertahan karena hanya pekerjaan ini yang saya bisa. Paling tidak, dari jasa ini saya bisa mengantongi duit halal buat anak istri,” ujar ayah 9 orang anak dan kakek 6 orang cucu ini.

Untuk satu buah tas dengan berbagai masalah seperti resleting yang rusak, robek kecil, hingga tali tas yang putus, ternyata Sofyan tidak mematok harga pasti. “Perbaikan tas paling cuma Rp 20 ribu sampe Rp 25 ribu saja, gak bisa kasih harga mahal karena bukan zaman dulu lagi,” ujar Sofyan pasrah.

Diungkapkannya, untuk tetap meneruskan profesi servis tas, tidak sama lagi seperti zaman dulu. Zaman dulu, ada puluhan penjaja jasa servis tas, bahkan terdapat banyak etnis Tionghoa yang juga belajar jasa seperti ini. Namun, perkembangan teknologi dan mudahnya fashion tas yang masuk ke Palembang, membuat jasa ini tak banyak lagi dilirik masyarakat.

“Tas sudah banyak yang dijual murah, bahkan ada yang seharga satu kali servis tas disini. Orang bakal mikir kalo mau servis, mending beli baru, kan. Tapi namanya hidup ya, Nak. Psang surut itu biasa. Yang penting tetap tekun saja, giat bekerja. Soal hasil, serahkan kepada Tuhan,” ujarnya.
Uniknya, pelanggan Sofyan banyak berasal dari kalangan pekerja seni di Kota Palembang. Karena selain membuka jasa servis tas, Sofyan juga menerima jasa pembuatan sepatu berbagai bentuk jenis. Sayang, Sofyan tidak mengingat nama-nama pekerja seni yang dimaksud.

“Kalo pembuatan sepatu, sesuai pesanan saja, bahannya bisa dari beludru dan kulit. Ada juga yang pesan sepatu buat penganten Palembang, biasanya yang pesan dari pelaminan (Wedding Organizer, red).”

Kisah sosok bersahaja ini mampu menginspirasi, karena dengan profesi sebagai jasa servis tas, ia mampu mengkuliahkan anak-anaknya, mengantarkan anak tercinta ke gerbang cita-cita yang mereka inginkan.

“Anak perempuan saya ada yang kuliah jurusan Tehnik Mesin di Universitas Sriwijaya,” ungkapnya bangga. Namun, ia tidak ingin merinci nama dan anak keberapa yang ia maksud. Baginya, cukuplah ia dan keluarga yang tahu, betapa berharganya tas rusak yang dititipkan orang kepadanya, karena dari tas itulah, rejeki halal ia peroleh untuk anak istri tercinta.
x


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Tradisi Tanglong sambut Lailatul Qadar Kini Tinggal Kenangan

Kalo diluar Sumsel, tradisi lampu tanglong masih terus dilestarikan, berbeda halnya dengan di bumi Sriwijaya. Iya, disini, tak banyak lagi yang tahu, apa itu tanglong, terutama generasi muda. Padahal, tahukah kalian, kalo tradisi tanglong penuh dengan makna baik? Simak, deh liputan khususnya bersama Sejarawan Palembang, Ali hanafiah, seusai memberikan workshop pembutan Tanglong, dalam event Cap Go Meh at Kampoeng Kapitan beberapa waktu lalu.

Seperti di wilayah Kalimantan, tradisi lampu tanglong bahkan masih dilestarikan dan dibuat festivalnya, yang tentunya diramaikan oleh ratusan warga. Namun, di Palembang, budaya yang sudah ada sejak dulu itu bahkan tidak lagi terlihat sejak tahun 80-an.

Kepada Seputarsumsel. com, Ali Hanafiah atau yang akrab disapa Pak Amin bercerita tentang sibuknya anak-anak zaman dahulu, ketika menyambut malam Lailatul Qadar. Adalah Malam Selikur, sebutan untuk malam pertama Lailatul Qadar ini. Demi menyambut malam Selikur, orangtua mengajarkan anak-anak cara membuat Tanglong, yakni lampu tradisional yang dibuat dari bahan-bahan sederhana.

“Lampu Tanglong di Bumi Sriwijaya, berbeda dengan di daerah lain, yakni terbuat dari kayu ringan yang di buat berbentuk kotak persegi panjang keatas. Bahan kertas menggunakan kertas minyak, sementara lem biasanya dibuat dari sagu.

Biasanya orangtua saya mengajak anak-anaknya untuk membuat beragam warna lampu tanglong, untuk kemudian dipasang di teras rumah,” ceritanya.

Setelah selesai merakit lampu tanglong, terakhir dipasang adalah lilin merah kecil seukuran jari, kemudian tanglong langsung di pasang. Tradisi membuat lampu tanglong, bukan tanpa makna. Menurut Pak Amin, ini sebagai salah satu tradisi dalam menyambut malam yang lebih baik dari malam seribu bulan itu.

“Dengan membuat dan meletakkan tanglong di teras rumah, menandakan umat muslim siap menyambut malam Lailatul Qadar, dan mengurangi tidur, sehingga rumah dibuat terang benderang dengan tanglong,” paparnya.

Keterkaitan Tradisi Tanglong dan Lampion

Udah pada tah, kan, kalo etnis muslim keturunan dan Tionghoa hidup berdampingan dengan rukun di Bumi Sriwijaya. Buktinya, adanya tradisi Tanglong dan Lampion. Kalo Tanglong dibuat untuk menyambut malam Lailatul Qadar, maka Lampion digantung untuk menyambut Cap Go Meh.

“Oleh karenanya, sangat penting bagi generasi muda, untuk tahu perbedaan Tanglong dan Lampion, namun tetap ada keterkaitan budaya didalamnya. Seperti halnya lilin yang dipakai didalam Tanglong, sama dengan lilin merah yang dipakai di meja persembahan,” jelasnya.

Malam Kenceran pun kini tinggal kenangan
Sebelum sibuk membuat tanglong di 10 hari terakhir Ramadhan, ternyata ada satu tradisi sebelumnya nih, yakni menyambut Malam Kenceran, yakni malam menyambut 17 Ramadhan. Nah, di Malam Kenceran ini, biasanya diadakan pawai, yang diikuti para anak muda dan pemuka agama, dengan berkeliling kota atau daerah. “Tapi sekarang sudah sangat jarang sekali kita lihat tradisi Malam Kenceran seperti ini, ya. Sudah tergerus zaman,” ujarnya.

Tradisi Tanglong juga makin hilang, terlebih bahan pembuatnya yang tak lagi mudah didapat seperti dulu. “Maka, saya menghimbau anak-anak muda, ayo pelajari lagi tradisi dan budaya yang ada sejak dulu, supaya tradisi yang sudah hilang ini bisa dilestarikan kembali,” harapnya. (RuL/18)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0