RSS

Biru Cintaku Untukmu

Kuraih asa terindah, hanya dalam sujudku. Kupasrahkan segala rindu, hanya diatas sajadah biru.
Ahh.. aku rindu Papaku..

Papa yang dulu sering tak kurespon teleponnya. Bahkan ku-reject teleponnya, hanya karena aku sedang sibuk dengan pekerjaanku. Papa yang dulu sering aku buat susah, aku buat gundah. Papa yang dulu sering tak kudengar kata-katanya. Papa yang dulu selalu ingin dekat denganku, namun terkadang aku membatasi hubunganku, hanya karena aku merasa takut dengannya. Aku segan padanya. Aku takut pada amarahnya. Aku takut pada sifat kerasnya.

Pa.. aku rindu perhatianmu. Rindu kehadiranmu. Rindu tatapan cintamu. Rindu kasih sayangmu. Di dunia ini, tak ada yang memperlakukan sama sepertimu.Tak ada bahu yang sama sepertimu. Tak ada dada bidang yang sama sepertimu. Dan tak ada cinta sepertimu.






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Mendayung Rejeki Dari Sungai Ke Sungai

Mengayuh dayung perahu kesana kemari, mencoba mengais rejeki menjajakan berbagai penganan dan minuman ringan berjejer diatas sampan kecil miliknya kepada siapa saja yang ia temui di pinggir sungai menjadi bagian keseharian yang harus mereka lalui demi menopang perekonomian keluarga di rumah.

Solma (50) sudah dua tahun belakangan tak kenal lelah berjualan jajanan terapung, terlebih jika ada perhelatan acara bidar mini yang hampir setiap minggu digelar di berbagai sudut sungai yang mengitari Kelurahan Karya Jaya Kertapati Palembang. Ia sama seperti penjual makanan terapung lainnya, membuat sendiri penganan seperti pempek, gorengan, hingga manisan kedondong, untuk dijual. Sejak pagi hari, ia mempersiapkan penganan, lengkap dengan berbagai jenis minuman yang ia susun rapi di atas sampan tua nya.

Biasanya, lomba bidar mini diadakan sedari siang hingga sore hari. Disaat itu pula ia bisa mengais rupiah, terutama dari para penonton bidar mini yang selalu antusias tiap minggunya disana. “Lumayan, Nak. Kalau ada acara seperti itu, saya bisa dapet Rp 100 ribu,” katanya.

Meski ada sekitar 50-an warga yang juga berprofesi sama seperti dirinya, namun Solma tak gentar, karena ia yakin rejekinya sudah diatur Yang Maha Kuasa. Selain pempek dan gorengan, terkadang ia juga membuat penganan lain seperti klepon, keripik dan ketan.

Solma bukan penjual makanan terapung sejati. Ia juga membuka warung sayur di rumahnya, di RT 22 Kelurahan Karya Jaya Kecamatan Kertapati Palembang. Setiap 3 kali seminggu, ia membeli berbagai sayur mayur dan kebutuhan berjualan di pasar Kertapati.

Namun, seringkali sayur yang ia jual tak habis, dan merugi. Betapa tidak, untuk membeli sayur di pasar, ia harus merogoh kocek hingga Rp 20 ribu per hari. Belum lagi jika meminta bantuan tukang pengangkut barang dan menyewa perahu ketek untuk bisa sampai ke rumah.

“Jika memungkinkan, saya jual sayur terapung keliling 3x seminggu, tapi jika tidak saya jualan dirumah saja, sembari mengurus rumah,” ujar ibu tiga anak ini.

Meski penghasilan satu hari hanya berkisar puluhan ribu saja, toh Solma tak pernah mengeluh. Ia tetap mencari rejeki lain dengan mengurus lahan pertanian orang lain. Ya, sehari-hari ia dan suami juga turut bertani, mengais rejeki dari padi yang menguning setahun sekali. “Kalau sekarang, kami semua sedang gagal panen. Tapi tidak boleh putus asa, kalau gagal ya coba lagi,” tuturnya.

Sembari menunggu acara bidar mini yang biasanya diadakan seminggu sekali, ia berjualan sayur dan gorengan dirumahnya, demi tetap menyambung hidup.

Angin Segar Di Pasar Terapung Sekanak

Pemerintah Kota Palembang mengujicoba Pasar Terapung Sekanak, dengan mengundang para penjual makanan terapung dari Kelurahan Karya Jaya. Ini menjadi angin segar bagi pendapatan warga, apalagi bagi Solma.

“Iya, tapi saya mau lihat dahulu bagaimana perkembangannya. Karena lokasi ini jauh dari rumah, jika tidak dibantu dengan perahu ketek, jauh sekali untuk menjangkau kesini,” tuturnya.

Solma mengungkapkan, selagi dirinya masih sanggup mendayung, ia akan terus mengais rejeki dari sungai ke sungai. Dari profesinya, ia dan suami mampu menyekolahkan ketiga anaknya hingga ke tingkat sekolah menengah atas.

“Anak pertama sudah lulus SMA, anak kedua lulus SMA dan sudah menikah juga, anak ketiga masih sekolah SMP kelas 1. Kami antarkan anak menuntut ilmu semampu kami,” tuturnya. (RuL/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Sosok Dibalik Indahnya Kasur Lihab

Di usia yang tak lagi muda, tangannya pun nampak masih terlihat cekatan mengayunkan jarum dan benang, menjahit pinggir kasur lihab yang terbentang dihadapannya. Sesekali jarum ia letakkan sebentar, untuk kemudian mengambil kayu bantu untuk memasukkan kapuk ke dalam kasur lihab dan kembali menjahitnya.

Sesekali juga ia pun membenahi masker yang menutupi hidung dan mulutnya, agar kapuk yang beterbangan tidak merusak paru-parunya. Dan jika merasa pegal, ia berpindah tempat duduk, mendekati pintu kecil di sudut ruangan tersebut agar mendapatkan cahaya lebih untuk menjahit.

Kolong rumah panggung tempat mereka bekerja penuh dengan kapuk, bukan hanya yang ditumpuk, tetapi juga kapuk yang beterbangan kesana-kemari. Dan jika ingin berdiri, mereka harus berhati-hati karena rendahnya atap kolong yang menjadi bernaungnya kerja mereka disana. Di sisi atap, terpasang juga seutas tali yang digunakan untuk menggantung kasur lihab, jika belum selesai dikerjakan.

Rutinitas seperti inilah yang dilakoni Rodiah (50) sejak tahun 1986 silam, di bawah rumah panggung di kawasan 27 ilir Palembang. Ya, Rodiah merupakan salah satu pengrajin kasur lihab.

Meski kini kasur kapuk sudah tergantikan dengan springbed, namun nyatanya kasur lihab sendiri masih bertahan hingga kini. Menurut rodiah, dalam sehari ia masih bisa mengerjakan hingga 10 buah kasur lihab.

“Sesuai sama kemampuan saja, Nak. Lagian, kadang permintaan dari toko juga cuma segitu jumlahnya sehari. Yang penting ada yang dikerjakan saja,” ucapnya pasrah.

Rodiah bertugas menjahit pinggir kasur lihab saja, sementara tugas memasukkan kapuk ke bagian dalam kasur biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selain kasur lihab, tukang randu juga membuat sajadah lihab yang hingga kini juga masih menjadi pilihan masyarakat kota Palembang.

Salah seorang pengrajin kasur lihab lainnya, Marini (63), juga menuturkan, hidup sebagai pengrajin kasur lihab di masa sekarang. “Kalau dulu, kasur kapuk untuk tidur masih berjaya. Tapi sekarang kasur kapuk sudah jarang. Kasur lihab juga tidak selaris dulu,” ungkap ibu tiga anak ini.

Upah yang Marini terima hanya berkisar Rp 200 ribu per minggu, karena ia hanya sanggup mengerjakan 3 sampai 4 kasur lihab saja, dengan jam kerja mulai pukul 9 hingga pukul 5 sore. Kini, hanya tinggal beberapa orang pengrajin kasur lihab yang masih bertahan, dari puluhan pengrajin yang dulu ada. Mereka tetap bersemangat mengayunkan tangan menjahit kasur lihab tanpa kenal lelah. Banyak pengrajin yang sudah meninggalkan profesi mereka karena permintaan kasur lihab tidak sebanyak dahulu.

Hasil kerajinan mereka, untuk memenuhi permintaan toko-toko penjual kasur lihab yang ada di sentral Kasur Lihab Jalan Mujahidin 26 Ilir Palembang. Kasur lihab sendiri biasanya digunakan untuk di ruang keluarga, atau biasa juga digunakan di ruang bermain anak dan ruang santai lainnya.

Variasikan Bahan Kasur Lihab

Dari Rodiah dan Marini, mereka banyak bercerita tentang kejayaan kasur lihab, hingga kini. Termasuk berbagai inovasi yang dilakukan penjual, agar kasur lihab tetap bertahan dari masa ke masa.

Jika dahulu kasur lihab umumnya berbahan dasar parasut, tetapi kini sudah banyak modifikasi dan variasi kasur lihab. Sebelumnya, kasur lihab identik dengan bahan parasut, desain bahan polos dipinggir, dan motif ditengah kasur.

“Kalau sekarang, sudah banyak pilihan bahan yang diinginkan, seperti bahan katun, saten, sutra dan pelangi,” kata Marini, sambil tetap mengayunkan jarum dan benang.

Selain jenis bahan, kasur lihab juga dimodifikasi bukan hanya sebatas kasur, melainkan dibuat pula dalam bentuk sajadah dan dudukan nganten untuk pelaminan.

“Kasur ada banyak pilihan ukuran, nomor 1, nomor 2 dan nomor 3. Lalu ada kasur bayi dengan pilihan bahan lembut, sesuai keinginan pembeli. Ada juga sajadah yang eksklusif, dibuat dari pilihan bahan katun dan songket, yang biasanya orang toko jual sampe 300ribuan,” papar Marini.

Harga Kasur Lihab Masih Tinggi

Diketahui, kapuk pengisi kasur lihab masih berkisar Rp 30 ribu per kilonya. Wajar jika harga kasur lihab sendiri masih terkategori tinggi oleh sebagian masyarakat. Untuk kasur lihab parasut ukuran nomor 1 (180×200 cm) berkisar antara Rp 375 ribu, ukuran nomor 2 (160×200 cm) berkisar antara Rp 350 ribu, ukuran nomor 3 (140×200 cm) berkisar Rp 300 ribu. Sementara, kasur lihab dibanderol mulai Rp 700 ribu, dan sajadah saten mulai Rp 190 ribu.

Ada keinginan untuk membeli kasur lihab? Langsung saja melipir ke kawasan Pasar 26 Ilir. Disini terdapat toko-toko penjual kasur lihab terbaik dari hasil tangan-tangan terampil pengrajin yang sudah puluhan tahun menggeluti profesi tersebut. (RL/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Liputan Bidar Mini. Seru! (2)

Dari pagi, salah jadwal krn diinfoin jam 8 pagi. Berangkat dari rumah jam 7 pagi. Sampe lokasi, ternyata jadwal lombanya jam 1 siang 😑 Sempet keki krn rasa lapar, sementara cuma ada penjual rempeyek di Boom Muaro Kelingi ini. Tapi ternyata gak sia2. View sungai di pagi hari, ditambah lomba yang seru abis, gak jd ngeluh 😂

Eniwey, pengen nulis juga tentang kehidupan penjual sayur keliling yg make perahu ketek, trus pengen nulis ttg kehidupan masyarakat pinggir Sungai Pada Bonggoh.

Sejak dulu, antar desa cuma dihubungkan dengan perahu ketek. Kalo mau nyebrang, siapin duit 2ribu untuk orang dewasa, dan 1ribu buat anak sekolah. I love this way. Thankyou Allah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Liputan Bidar Mini. Seru!

Menjaga tradisi Bidar Mini agar tetap Lestari  

Seputarsumsel.com, Palembang - Apa jadinya jika Halilintar, Raja Rimba, Raja Sirep, Serunting Sakti, hingga Buaya Buras beradu diatas Sungai Pada Bonggoh?. Jawabannya, seru!. Nama-nama ini merupakan nama beken bidar mini yang mengikuti perlombaan Bidar Mini dalam rangka Ulangtahun Kelurahan Karya Jaya Kecamatan Kertapati yang ke-40.

Sebanyak 65 perahu bidar mini yang didayungi oleh 5 orang, mengikuti perlombaan yang memperebutkan piala bergilir Lurah Karya Jaya ini.

Kepada Seputarsumsel.com, Lurah Karya Jaya, M Yusli mengatakan, dirinya menyambut baik ide dari para tokoh masyarakat, ketua RT dan RW yang berada di Kelurahan Karya Jaya untuk menggelar perlombaan ini.

"Dan perlombaan digelar semuanya berkat swadaya masyarakat. Lomba bidar mini ini sendiri sempat mati suri sekitar 3-4 tahun, sehingga saya dan masyarakat bersemangat untuk memunculkan lagi tradisi ini. Ulangtahun kelurahan sendiri jatuh pada tanggal 29 Januari lalu, namun baru kami realisasikan di hari ini," kata Yusli, Minggu (5/2) di Boom Muaro Kelingi, Kelurahan Karya Jaya.

Tercatat, sudah lebih dari 20 kali lomba bidar ini digelar, dan selalu diramaikan oleh masyarakat kelurahan Karya Jaya. Hal inilah yang membuat Kepala Pariwisata Kota Palembang, Isnaini Madani ingin memasukkan perlombaan ini dalam kalender pariwisata.

"Akan sangat bagus jika dikemas dalam pariwisata Kota Palembang, dan menghasilkan economic value. Selain itu, bisa kita dimasukkan pula kedalam calendar of event, sehingga bukan hanya masyarakat sekitar saja yang menyaksikan perlombaan bidar mini ini. Wisatawan lokal maupun mancanegara juga bisa. Jika bidar mini akan diadakan lagi, saya bisa memasukkannya dalam kalender tahun ini," tegas Isnaini.

Selain itu, ia juga menilai, budaya seperti ini juga bisa menjadi salah satu pertunjukan yang bisa dimasukkan dalam paket wisata, bekerjasama dengan tour and travel yang ada di Kota Palembang.

Walikota Palembang, Harnojoyo juga berkesempatan untuk meninjau langsung jalannya perlombaan bidar mini ini. Dikatakannya, tradisi seperti ini juga patut dilestarikan, agar menjadi suatu ikatan kebersamaan antar masyarakat.

"Dahulu, kan perahu bidar atau yang juga disebut perahu calang ini adalah perahu yang berfungsi untuk menghalau perompak yang ingin mengganggu kerajaan Sriwijaya dari wilayah sungai. Oleh karena itu, tradisi seperti ini jangan sampai hilang. Animo masyarakat luar biasa, saya salut. Bukan tidak mungkin, selain dimasukkan dalam kalender event pariwisata Kota Palembang, bidar mini ini akan saya munculkan dalam perhelatan Asean Games 2018 nanti," katanya bangga.

Pembangunan Jembatan Musi 5 Menyatukan Masyarakat Pinggir Sungai

Adanya permintaan masyarakat untuk meminta kepada Pemerintah Kota Palembang agar dibuatkan jembatan penghubung antara boom Muara Kelingi dengan desa seberang, turut menjadi perhatian Harnojoyo. Dikatakan Harno, pembangunan akan terus berlanjut dan mengedepankan kepentingan masyarakat.

"Saat ini sudah ada pembangunan musi 4, musi 5 dan musi 6, dimana musi 5 akan menjadi jembatan penghubung melewati sungai keramasan ini. Semua demi kelancaran transportasi yang ada di wilayah perairan," katanya mantap. 

Budaya bidar mini ini sudah sejak lama menjadi tradisi masyarakat di kawasan Sungai Pada Bonggoh, khususnya masyarakat yang berada di kelurahan Karya Jaya. Yuk, kita lestarikan bersama dengan memberikan dukungan kepada pemerintah, agar tradisi seperti ini bisa terus berjalan. (Nurul/17)

http://seputarsumsel.com/menjaga-tradisi-bidar-mini-agar-tetap-lestari/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Lavender-ku

Menilik hati terdalam
Cinta ini terukir menawan
Bagai lavender di kejauhan. Aku ingin duduk diantara lavender-lavender itu.
Sayang, hujan tumpah ke bumi, melarang.
Menggenangi jalan menuju ke lavender ku.
Membanjirinya dengan desahan putus asa.
Kau tahu, jalan ini hanya setapak. Bebatuan kecil mencoba melerai tanah kehidupan.
Asa seolah menghilang, tak ingin melalui setapak itu.
Kau tahu, ada payung biru di jemariku.
Air yang jatuh itu tiada arti. Kita lah yang menjadi penadah.
Mengapa kau memilih terdiam, dan berhenti berjalan.
Bebatuan itu kecil, tak menghalangi cinta yang tertawan masa.
Jalan setapak bisa dipijak, asal rindumu tak berbatas.
Ayolah, lavender itu menunggu.
Seperti ukiran cinta di langit sendu. Aku menunggu lavender-ku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Jalan Asia Plaju, Kampung Produsen Tempe Di Palembang






Seputarsumsel.com, Palembang - Siapa yang suka tempe?. Wah, hampir rata-rata masayarakat kita suka dengan makanan yang satu ini. Berbahan dasar kacang kedelai, khasiat didalam tempe ternyata banyak, loh, diantaranya bisa melawan radikal bebas, menurunkan tingkat kolesterol darah, pencegah penyakit jantung dan hipertensi, dan masih banyak lagi. Tuh, liat, betapa ruginya kamu yang gak suka tempe!.

Ternyata, Indonesia merupakan produsen tempe terbesar di dunia, dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Tercatat, tempe sudah ada sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia, sebagai makanan para tawanan Jepang kala itu. Dahulu, pembuatan tempe memang menggunakan daun pisang.
Di Palembang sendiri, pengrajin tempe ternyata ada di kawasan Jalan Asia Plaju Ulu Palembang. 

Seputarsumsel.com menelusuri jejak pengrajin tempe di kampung tempe ini, dan berkenalan dengan Bapak Junaidi (43), salah satu pengrajin yang menetap di Jalan Asia Gang Saleh Plaju Ulu Palembang.
Junaidi sendiri ternyata ‘mewarisi’ profesi sebagai pengrajin tempe dari orangtuanya.

“Saya sudah mengenal tempe sejak kecil. Namun baru belajar membuat tempe sejak tahun 1993 silam. Dan akhirnya saya benar-benar terjun sebagai produsen tempe pada tahun 2000,” kenangnya.

Dikatakannya, dalam satu hari, ia mampu menghasilkan ratusan potong tempe, yang ia jual di Pasar Kuto Palembang. Harga yang ia tawarkan yakni berkisar antara Rp 3 ribu, Rp 4 ribu, Rp 5 ribu, dan Rp 6 ribu per potongnya.

“Tempe dipotong sesuai ukurannya, ada yang berukuran 12x25 cm, 12x30 cm dan 12x35 cm. Ada yang dibungkus dengan daun pisang, ada pula yang dibuat dengan plastik,” papar suami dari Marfuah (43) ini.
Dalam satu hari, ia bisa menggunakan 75 kilogram kacang kedelai, yang didapat dari Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTTI). Saat ini, harga kacang kedelai berkisar Rp 7.400 per kilogramnya.

Menurut Junaidi, produksi tempe terbilang gampang-gampang susah. “ Sebagai produsen, kami harus jeli melihat bahan baku kacang kedelai yang akan digunakan. Selain itu, proses pembuatan juga harus terus diperhatikan terutama selama proses fermentasi, sampai benar-benar menjadi tempe,” kata Junaidi panjang lebar.

Produksi Tempe Dulu Dan Sekarang

Proses pembuatan tempe dimulai dari pembersihan kacang kedelai dari kotoran. Kemudian kacang direndam selama 12-18 jam, agar kacang bisa menyerap air sebanyak-banyaknya, yang berguna untuk proses hidrasi. Setelah itu, kacang dicuci bersih lagi, untuk kemudian direbus sampai empuk. Kacang kemudian ditiriskan dan diangin-anginkan, lalu ditaburi ragi tempe sembari diaduk rata. Biasanya, ukuran ragi yang ditabur yakni 1,5 gram ragi untuk 2 kg kacang kedelai.

Jika sudah diaduk rata dengan ragi, maka tempe siap dibentuk, baik dengan daun pisang maupun dengan menggunakan plastik. Proses terakhir, tempe dilubangi dengan menggunakan lidi atau garpu.

“Proses fermentasi dibantu dengan udara, supaya spora jamur tempe (Rizhopus) bisa berkembang maksimal. Baik daun pisang maupun plastik harus dilubangi,” ujar Junaidi.

Kini, produksi tempe tidaklah sesulit tahun 2000-an, saat Junaidi baru memulai merintis produksi tempe. Katanya, dahulu ragi yang digunakan dalam pembuatan tempe yakni menggunakan laru tradisional.

“Kalau sekarang sudah ada ragi berbasis tepung, yang juga bisa didapat di KOPTTI. Kalo untuk penggunaan daun pisang, sampai saat ini masih ada yang mencari tempe yang berdaun pisang, sehingga masih saya pertahankan, disamping membuat tempe yang pake plastik juga. Intinya, proses pembuatan tempe ini bisa memakan waktu hingga 4 hari lamanya,” tuturnya.

Junaidi tidak ingin merinci berapa penghasilan yang ia dapat dalam sehari, namun penghasilan dari tempe inilah yang bisa menghidupi istri dan anak-anaknya. Saat ini, terdapat puluhan pengrajin tempe yang mewarisi profesi seperti Junaidi, dan menjual produksi tempenya ke berbagai pasar yang ada di Kota Palembang, seperti Pasar Plaju dan Pasar Induk Jakabaring. Biasanya, produsen tempe akan memasang plang di depan rumahnya, dengan menulis ‘Pengrajin Tempe’.

Junaidi berharap, pemerintah bisa memberikan perhatian lebih kepada produsen tempe seperti dirinya dan puluhan produsen yang bermukim di sentra kampung tempe ini.

“Sejauh ini pemerintah sudah sering memberikan penyuluhan, dan mengikutsertakan kami dalam berbagai pameran. Kalo bisa lebih diperhatikan lagi,” ungkapnya seraya tersenyum. (Nurul/17)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0