RSS

SAJADAH BIRU

"Kamu itu mau nunggu apalagi?. Adikmu sudah nyuri start. Udah naik pelaminan duluan. Lah terus mau nunggu apalagi?. Apa harus kamu dilangkahin dua kali?".

Ucapan Bunda serasa petir menyambar di siang bolong. Aku sangat terkejut mendapatin kata-kata yang dilontarkannya. Bunda, wanita lemah lembut sedunia, tiba-tiba menjadi seperti dewa petir.

Aku diam seribu bahasa, tak mampu kujawab pertanyaan Bunda. Aku baru saja pulang bekerja. Kupilih untuk langsung masuk kekamar. Meninggalkan Bunda yang masih duduk di ruang tamu. Mungkin ia memang sengaja menungguku pulang.

Sujudku malam ini sangat lama. Ya, aku sangat bersedih. Kutumpahkan semua kesedihanku diatas sajadah biru dikamarku.

Sampai kapan aku harus menunggu, wahai Dzat Yang Maha Besar?, batinku menjerit. Apa salahku hingga aku tak kunjung dihalalkan? Dan airmataku tak berhenti menetes hingga dini hari.

***

"Ya sudah. Kalau memang mau kita nikah segera, kita bisa mengumpulkan uang sama-sama," ucap Mas Bara.

Aku terdiam. Tak pernah terlintas dalam pikiranku, jika harus mengumpulkan uang berdua.

"Berdua, Mas?. Maksudnya seperti apa?," tanyaku bingung.

"Iya. Kita nabungnya berdua. Masa semua biaya nikah Mas yang nanggung. Kan kita mau nikahnya berdua, ya harus seimbang lah. Dari mahar sampai biaya pesta, kita kumpulkan berdua. Ada masalah? ," tuturnya dengan nada sedikit meninggi.

Aku terhenyak. Nafasku tercekat. Nabung berdua? Seimbang? Bukankah sudah menjadi kewajiban laki-laki untuk memenuhi mahar?.

"Bukankah mahar adalah adalah kewajibanmu, Mas?," ucapku. Rasanya tubuhku bergetar hebat mendengar kata-katanya barusan.

"Aku tahu. Tapi tak ada salahnya, kan? Toh kamu yang mau disegerakan".

***

Siang itu, aku merasa cukup lelah beraktivitas. Pekerjaanku sebagai salah satu wartawan lokal didaerahku, membuatku harus rela berada dijalanan sepanjang hari, demi mencari berita. Kubelokkan motor kesayanganku kearah masjid besar di pinggir jalan protokol dikotaku. Rasanya tubuhku sudah tak sanggup menahan terik matahari yang menyengat.

Sepinya masjid siang ini ikut mempengaruhi suasana hati. Usai berpasrah dalam sujud terakhir Dzuhur tadi, aku merenung. Berhari-hari aku diliputi kebimbangan yang luar biasa. Konsentrasiku terpecah. Berita yang kubuat semakin sering dikoreksi redaktur. Tak beres.

Batinku menolak untuk menuruti semua kata-kata Mas Bara itu. Namun, logikaku juga tak mampu jika harus menentangnya. Aku mencintai Mas Bara.

Satu setengah tahun lamanya aku dan Mas Bara bersama. Ia adalah teman satu komunitas dikotaku. Dipertemukan karena seringnya aku dan dia berkomunikasi di komunitas ini. Ia yang supel, punya banyak teman,  mencuri perhatianku dengan keramahannya.

Aku tahu, tak ada istilah pacaran dalam Islam. Aku juga muslimah berjilbab, meski busanaku sehari-hari tergolong jauh dari busana muslimah.

Aku tak bisa memungkiri rasa cinta yang tumbuh subur. Di awal masa pacaran, ia sudah berkomitmen untuk serius, tak mau main-main.

Satu setengah tahun pula, susah senang kami lalui berdua. Tak kupungkiri rasa cinta yang semakin besar tatkala ia berkorban menjemputku jika kebetulan aku pulang larut malam, atau menyediakan waktu makan siang agar kami bisa makan bersama.

Namun, ada satu hal yang memang tak pernah tersentuh dari dulu. Ya, Mas Bara tak pernah berbicara mengenai kelanjutan hubungan kami. Pernah suatu hari aku bertanya, apakah kami bisa membicarakan masa depan. Dengan gamblang, Mas Bara menjawab," Nanti sajalah. Kita jalani saja dulu hubungan ini, sembari saling mengenal".

Kusandarkan punggungku di salah satu tiang masjid. Kuhela nafas panjang, seraya memejamkan mata. Apa yang harus aku lakukan?, batinku pedih. Bunda sudah sangat sering menanyakan keseriusan hubungan ini.

Tiga bulan lalu, adikku sudah melangkahiku menuju pelaminan. Meski sedih dan merasa nelangsa, kuijinkan pula adikku. Kata Bunda, tak boleh menghalangi jodoh orang yang datang lebih dulu.

Kuingat, pernah suatu kali Bunda berbicara empat mata denganku, dengan nada yang sedikit memohon.

"Nak, buat apa pacaran tak jelas arahnya kemana. Lama-lama nanti jadi gunjingan tetangga. Kamu kan tahu, Ayahmu sudah tidak ada lagi. Tinggal Bunda yang bisa jagain kamu dan adik-adik. Tolonglah, minta kejelasan sama Bara. Mau sampai kapan pacaran terus?. Kalau gak jodoh bagaimana?".

Bunda..

Airmataku turun perlahan. Cepat kuusap sebelum deras mengalir. Malu dengan jemaah perempuan di masjid ini. Perlahan kubuka mukenaku. Bergegas keluar masjid, menuju kantorku. Setor berita hari ini.

***

Pikiranku kosong. Kurang tidur berminggu-minggu. Masih saja kupaksakan bekerja, mengendarai motor kemana-mana. Semua pikiran di masjid tadi masih memenuhi otakku. Tanpa kusadari, mobil didepanku sudah memberikan aba-aba lampu sen kiri.

Braaaaakkkkkkkkkkkkkkkkk...

Stang motorku bengkok. Bagian depan hancur total. Aku tak sempat mengelak, dan terjadilah tabrakan mengerikan itu. Mukaku ikut 'hancur'. Bengkak parah dibagian hidung, karena menabrak langsung bagian belakang mobil. Sekian detik aku merasa tak bernafas. Ya Allah...

***

"Apa?. Kamu mau berhenti kerja?. Kamu yakin?," nada Mas Bara tiba-tiba meninggi.

Aku terdiam. Kutatap matanya yang juga menatapku tajam.

Ia pun melanjutkan ucapannya. "Trus kalau kamu berhenti kerja, rencana kita bagaimana?".

"Rencana gak akan berubah, Mas," jawabku parau.

"Gak berubah gimana. Kalau kamu berhenti kerja, kamu gak akan dapet gaji. Lalu, rencana kita yang mau mengumpulkan uang sama-sama, emang bisa?".

Nafasku tercekat. Kutatap lekat-lekat wajahnya yang sekarang sibuk memegang smartphone-nya.

"Aku bisa mencari uang dari rumah, Mas. Bunda sudah mengijinkan aku untuk berhenti bekerja".

"Sudahlah. Kamu gak akan bisa maksimal cari uang kalau dari rumah. Lupakan saja rencana kita. Kita jalani saja apa adanya". Tanpa pamit, ia meninggalkan pembicaraan ini.

Sakit sekali melihat tingkahnya. Namun kutahan tangis yang sudah menggenangi sudut mata.

***

Al-Quran mungil pemberian Almarhum Ayah baru saja kutaruh kembali ke sudut ranjang kamarku. Sepertiga malam ini begitu tenang. Kupasrahkan semuanya. Kutengadahkan tangan memohon ampunan Allah Ta'ala.

Hubunganku dan Mas Bara sudah berakhir sebulan lalu. Mas Bara memutuskan untuk mengakhiri hubungan, setelah berminggu-minggu lamanya menggantung.

Masih terngiang jelas ditelinga, kata-kata Mas Bara, yang membuat hidupku seolah sudah berakhir saat itu.

"Maafkan Mas. Ibu Mas bilang, Mas harus mapan dahulu kalau mau melamar anak orang. Lagian, kamu juga kan sudah tidak bekerja lagi. Jadi Mas sendiri yang harus berusaha untuk mewujudkan masa depan. Tapi kalau kamu masih mau sama Mas, dua tahun lagi saja kita bicarakan masa depan kita".

Airmataku menetes. Namun, kali ini airmata yang turun adalah airmata bahagia. Ya.. Aku sangat mensyukuri semua yang sudah terjadi. Kuputuskan untuk tidak lagi menunggunya. Aku mencintainya, namun aku lebih memilih menuruti Bunda untuk tidak lagi berhubungan dengan Mas Bara.

Mulanya memang aku sangat bersedih. Murung setiap hari. Semangatku hilang. Dalam benakku, tak ada lagi bahagia. Mas Bara tega meninggalkanku hanya karena aku sudah menjadi wanita rumahan, pikirku..

Dalam kesedihanku, salah seorang sahabat muslimahku, membuka mataku lebar-lebar.  Ia menghiburku dengan nasihatnya yang sangat dalam.

"Ukhti, La Tahzan. Ayo segera Sholat Taubat. Memohon ampunan atas segala dosa yang sudah diperbuat selama ini. Lalu, lanjutkan dengan sholat Hajat. Pinta jodohmu hanya pada Allah swt. Bernadzarlah sesuatu, supaya Allah bisa melihat ikhtiarmu dalam menjemput jodoh. Dirikan sholat malam. InsyaAllah Ia akan segera mempertemukanmu dengan jodohmu," katanya sambil memelukku erat.

Aku seperti tersentak hebat. Aku merasa sangat malu kepada Allah. Aku yang sangat jarang mengingat-Nya dikala bahagia, dan selalu memohon belas kasihan-Nya jikalau sedih.

Dan akupun baru mengingat nadzar yang pernah kuucapkan dulu. Aku bernadzar untuk mengkhatamkan Al-Quran, sebagai ikhtiar dalam menjemput jodohku. Nadzar ini terlupakan sejak aku sibuk bekerja dan menjalani hubungan dengan Mas Bara. Mungkin, tertundanya jodohku, karena nadzar yang belum kupenuhi sejak lama. Betapa Allah Maha Pemberi Hikmah.

"Ya Rabb.. sudah kupenuhi nadzarku. Sudah kukhatamkan surat cinta-Mu malam ini. Betapa aku hanyalah makhluk-Mu yang rapuh. Aku memohon ampunan-Mu, dan meminta ridhomu. Hanya Engkau-lah Dzat Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Ya Allah.. Aku berpasrah pada-Mu dalam menanti datangnya jodohku. Jodoh yang telah Engkau pilihkan untuk kucintai. Dan aku akan selalu berproses untuk memantaskan diri sembari menjalani penantian ini. Jilbab panjangku bukan untuk menarik perhatian ikhwan semata. Aku bertaubat sepenuhnya demi mengharap ridho-Mu semata..."

'Dari Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas'ud R.A : Barangsiapa yang mengkhatamkan Al-Qur'an, maka baginya doa yang mustajabah.'

*** end ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0