RSS

Tradisi Tanglong sambut Lailatul Qadar Kini Tinggal Kenangan

Kalo diluar Sumsel, tradisi lampu tanglong masih terus dilestarikan, berbeda halnya dengan di bumi Sriwijaya. Iya, disini, tak banyak lagi yang tahu, apa itu tanglong, terutama generasi muda. Padahal, tahukah kalian, kalo tradisi tanglong penuh dengan makna baik? Simak, deh liputan khususnya bersama Sejarawan Palembang, Ali hanafiah, seusai memberikan workshop pembutan Tanglong, dalam event Cap Go Meh at Kampoeng Kapitan beberapa waktu lalu.

Seperti di wilayah Kalimantan, tradisi lampu tanglong bahkan masih dilestarikan dan dibuat festivalnya, yang tentunya diramaikan oleh ratusan warga. Namun, di Palembang, budaya yang sudah ada sejak dulu itu bahkan tidak lagi terlihat sejak tahun 80-an.

Kepada Seputarsumsel. com, Ali Hanafiah atau yang akrab disapa Pak Amin bercerita tentang sibuknya anak-anak zaman dahulu, ketika menyambut malam Lailatul Qadar. Adalah Malam Selikur, sebutan untuk malam pertama Lailatul Qadar ini. Demi menyambut malam Selikur, orangtua mengajarkan anak-anak cara membuat Tanglong, yakni lampu tradisional yang dibuat dari bahan-bahan sederhana.

“Lampu Tanglong di Bumi Sriwijaya, berbeda dengan di daerah lain, yakni terbuat dari kayu ringan yang di buat berbentuk kotak persegi panjang keatas. Bahan kertas menggunakan kertas minyak, sementara lem biasanya dibuat dari sagu.

Biasanya orangtua saya mengajak anak-anaknya untuk membuat beragam warna lampu tanglong, untuk kemudian dipasang di teras rumah,” ceritanya.

Setelah selesai merakit lampu tanglong, terakhir dipasang adalah lilin merah kecil seukuran jari, kemudian tanglong langsung di pasang. Tradisi membuat lampu tanglong, bukan tanpa makna. Menurut Pak Amin, ini sebagai salah satu tradisi dalam menyambut malam yang lebih baik dari malam seribu bulan itu.

“Dengan membuat dan meletakkan tanglong di teras rumah, menandakan umat muslim siap menyambut malam Lailatul Qadar, dan mengurangi tidur, sehingga rumah dibuat terang benderang dengan tanglong,” paparnya.

Keterkaitan Tradisi Tanglong dan Lampion

Udah pada tah, kan, kalo etnis muslim keturunan dan Tionghoa hidup berdampingan dengan rukun di Bumi Sriwijaya. Buktinya, adanya tradisi Tanglong dan Lampion. Kalo Tanglong dibuat untuk menyambut malam Lailatul Qadar, maka Lampion digantung untuk menyambut Cap Go Meh.

“Oleh karenanya, sangat penting bagi generasi muda, untuk tahu perbedaan Tanglong dan Lampion, namun tetap ada keterkaitan budaya didalamnya. Seperti halnya lilin yang dipakai didalam Tanglong, sama dengan lilin merah yang dipakai di meja persembahan,” jelasnya.

Malam Kenceran pun kini tinggal kenangan
Sebelum sibuk membuat tanglong di 10 hari terakhir Ramadhan, ternyata ada satu tradisi sebelumnya nih, yakni menyambut Malam Kenceran, yakni malam menyambut 17 Ramadhan. Nah, di Malam Kenceran ini, biasanya diadakan pawai, yang diikuti para anak muda dan pemuka agama, dengan berkeliling kota atau daerah. “Tapi sekarang sudah sangat jarang sekali kita lihat tradisi Malam Kenceran seperti ini, ya. Sudah tergerus zaman,” ujarnya.

Tradisi Tanglong juga makin hilang, terlebih bahan pembuatnya yang tak lagi mudah didapat seperti dulu. “Maka, saya menghimbau anak-anak muda, ayo pelajari lagi tradisi dan budaya yang ada sejak dulu, supaya tradisi yang sudah hilang ini bisa dilestarikan kembali,” harapnya. (RuL/18)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar