RSS

Syarofal Anam ceritamu kini !


Ada yang tahu tentang Syarofal Anam? Dewasa ini, banyak sekali kuliner, budaya dan adat istiadat Bumi Sriwijaya yang mulai menghilang perlahan. Ada makanan telok ukan yang hanya muncul ketika akan menyambut hari kemerdekaan. Ada pula gulo puan yang kini hanya bisa ditemui di kawasan Masjid Agung Palembang pada hari Jumat siang. Bicara soal budaya dan tradisi, ternyata saat ini ada satu tradisi yang sudah mulai jarang terdengar, meski tradisi ini masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat secara turun temurun, yakni Syarofal Anam.
Syarofal Anam atau Terbangan adalah seni adat Sumsel yang sudah lama dipake untuk mengisi berbagai acara adat seperti pernikahan, Maulid Nabi Muhammad SAW, Duabelasan dan lain-lain. Kesenian islami ini dibawa para saudagar Arab dulu dan kemudian mengakar di Palembang. Syarofal Anam ini adalah syair pujian akan kebesaran Nabi Muhammad SAW, yang merupakan utusan Allah yang terakhir di muka bumi.
Syarofal Anam ini membuktikan bahwa Kesultanan Palembang Darussalam benar-benar menggenggam erat keislaman, hingga dibawa ke dalam tradisi. Biasanya, anggota Syarofal Anam menggunakan baju tuluk belango atau juga sarung, dan menggunakan hiasan kepala baik tanjak maupun peci. Anggota Syarofal Anam minimal berjumlah sepuluh orang, loh. Rame kan !
Tradisi syarofal anam ini sendiri memiliki ciri khas, yakni terbangan yang terbuat dari kulit ikan pare. Wah.. apa menariknya kulit ikan pare untuk terbangan?
Budayawan Palembang Ali Hanafiah mengatakan, dahulu terbangan masih menggunakan kulit ikan pare asli, dimana kulit ini diolah terlebih dahulu sebelum dibuat terbangan. Dengan kulit ikan pare, terbangan akan menimbulkan suara khas.
“Tapi sekarang terbangan banyak terbuat dari kulit sapi atau kambing, karena banyak orang yang tidak mau susah payah mengolah kulit pare. Alasan lain juga karena langkanya penggunaan kulit pare. Kulit pare ditekan dengan sidak, supaya kencang. Dan kalo sudah dipake, biasanya dilepas lagi biar bisa dilenturkan lagi. Sekarang sidak diganti dengan plastik. Padahal, terdapat perbedaan suara yang sangat mencolok antara kulit pare dengan yang lainnya,” papar Amin, panggilan akrab sejarawan ini.
Kalo mau lihat terbangan asli dari kulit ikan Pare, masih bisa kita temukan di Museum SMB II. Terbangan gak sembarangan dimainkan, loh. Gak asal tepuk dengan tangan. Dalam terbangan, kita harus mengetahui tepukan irama yang di tepuk di pinggir terbangan, di tengah terbangan maupun di kuningan terbangan.
“Ada iramanya, ada tepukan di masing-masing irama, disesuaikan dengan dzikir yang disebut. Gak sembarangan terbangan dibunyikan,” katanya. Selain itu, ada gerakan Rodat, yakni duduk dengan bentuk lamat sumpit, dan melakukan gerakan silang.
Syarofal Anam nasibmu kini
Dulu, anak-anak selalu sibuk belajar Syarofal Anam setiap malam Minggu. Maka dari itu, di masa silam jarang ada anak-anak yang salah pergaulan. “Kalo dulu, mereka disuruh orangtua belajar Syarofal Anam, yang sarat dengan dzikir dan kedekatan dengan Allah SWT dari kitab Al-Barzanji. Tapi sekarang Syarofal Anam saja orangtua gak banyak yang tahu. Apalagi mau mempelajarinya,” ungkap Amin. Hmm.. bener juga ya. Teknologi mengubah dunia, memang benar adanya.
Syarofal Anam ini masih dipake di berbagai kesempatan, namun tidak lagi sesering dahulu. Menurut Amin, grup Syarofal Anam masih ada di kawasan 19 Ilir dan di 27 Ilir Palembang.
“Kalo dahulu, Syarofal Anam juga dipake untuk acara Duabelasan, yakni memperingati tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 sehingga setiap bulan kita mengadakan dzikir bersama diawali dengan Syarofal Anam ini. Kalau untuk grupnya, kemungkinan masih ada di Jalan Kapten Cek Syech Lorong Gabsah yang merupakan singkatan dari Gabungan Syarofal Anam. Saat ini Syarofal Anam masih dipake, tapi gaungnya sudah mulai berkurang,” ungkap Amin sendu. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar